About

Sunday, 13 May 2012

PENANGANAN PERTAMA PADA CEDERA RINGAN


PENANGANAN PERTAMA PADA CEDERA RINGAN AKIBAT AKTIVITAS FISIK

Oleh:
Wawan Agung Raharja, S.Or.


ABSTRAK

Dunia modern saat ini masih sering terjadi salah penafsiran oleh masyarakat pada umumnya tentang penanganan pertama pada cedera ringan yang ditimbulkan akibat aktivitas fisik sehari-hari, baik olahraga maupun non olahraga. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana melakukan aktivitas atau gerak dengan baik serta bagaimana penanganan pertama ketika mengalami cedera pada tubuh yang merupakan risiko saat melakukan aktivitas tersebut. Cedera yang terjadi pada tubuh secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam berdasarkan tingkatan, yaitu cedera ringan, sedang, dan berat. Cedera ringan merupakan salah satu bentuk cedera yang sering terjadi pada tubuh manusia, misal kekakuan otot, sprain dan strain tingkat satu maupun pergeseran posisi tulang pada sendi tubuh (subluksasi). Selain itu cedera yang dialami pada tubuh akan menimbulkan gejala peradangan (inflamasi) yang dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda peradangan, yaitu bengkak, merah, panas, nyeri, dan penurunan fungsi gerak anggota gerak tubuh. Di dunia medis maupun di lingkungan perguruan tinggi khususnya fakultas keolahragaan, telah dikenal metode RICE (Rest, Ice, Compression dan Elevation) sebagai upaya penanganan pertama pada cedera yang menimbulkan gejala peradangan pada tubuh. Penanganan tersebut bertujuan untuk meminimalisir peradangan yang terjadi maupun mengurangi risiko yang lebih besar sebelum dilakukan penanganan selanjutnya (medis) apabila cedera tersebut termasuk cedera sedang maupun berat. Namun semakin berkembangnya pengetahuan yang ada khususnya di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, telah berkembang salah satu metode traksi dan reposisi sendi yang merupakan bagian dari metode masase cedera olahraga yang berfungsi untuk mengembalikan posisi tulang pada sendi yang mengalami pergeseran (subluksasi).

Kata Kunci: Cedera Ringan, RICE, Traksi dan Reposisi


PENDAHULUAN
Pada zaman modern saat ini banyak berkembang berbagai macam pengobatan terhadap cedera pada tubuh, baik secara medis maupun non medis. Kemajuan dan perkembangan yang terjadi merupakan salah satu bentuk upaya untuk menjaga kesehatan tubuh dan memulihkan kembali cedera yang terjadi pada tubuh. Cedera akan menimbulkan berbagai macam keluhan pada tubuh apabila tidak diberi penanganan secara cepat dan tepat, seperti rasa tegang pada otot apabila tubuh tetap digunakan. Selain itu cedera yang diakibatkan oleh aktivitas fisik seperti berolahraga akan menimbulkan tanda akut, yaitu tanda respon peradangan pada tubuh berupa pembengkakan, peningkatan suhu, rasa nyeri, warna merah dan penurunan fungsi pada anggota gerak tubuh (Novita Intan Arovah, 2010: 3). Tanda-tanda peradangan pada cedera tubuh tersebut akan berdampak negatif apabila pada saat penanganan pertama pasca terkena cedera tidak dilakukan cepat dan tepat.
Pada umumnya, prinsip penanganan cedera akut pada tubuh dilakukan untuk mengurangi kerusakan lanjutan serta mengurangi keluhan yang terjadi akibat respon peradangan tubuh. Namun yang terjadi di lapangan, di ruang lingkup pendidikan maupun di masyarakat umum masih banyak terjadi salah persepsi dan kurangnya pengetahuan tentang penanganan pertama cedera akut pada tubuh. Banyak masyarakat maupun olahragawan yang tidak melakukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat, bahkan ada beberapa yang melakukan penanganan yang salah terhadap timbulnya peradangan akibat dari cedera yang terjadi.
Dari hasil pengamatan penulis tentang penanganan pertama yang dilakukan masyarakat yaitu pasien Physical Therapy Clinic Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, baik pasien olahragawan maupun non olahragawan antara lain sebagai berikut: (1) Banyak pasien tidak melakukan tindakan penanganan pertama pada cedera yang dialami akibat aktivitas fisik, baik olahraga maupun non olahraga, (2) Banyak pasien melakukan penanganan pertama pada cedera dengan metode penanganan yang salah, seperti memberi efek panas pada anggota tubuh yang mengalami peradangan, (3) Banyak pasien khususnya olahragawan tidak melakukan istirahat saat mengalami cedera yang menimbulkan peradangan sehingga memperparah keadaan cedera pada tubuh.

KAJIAN TEORI
Menurut Cava (1995: 145) yang dikutip oleh Antony Eko Raharjo (2008: 32), bahwa cedera merupakan rusaknya jaringan lunak atau keras disebabkan adanya kesalahan teknis, benturan atau aktivitas fisik yang melebihi batas beban latihan yang dapat menimbulkan rasa sakit akibat dari kelebihan latihan melalui pembebanan latihan yang terlalu berat sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan anatomis. Cedera pada tubuh dapat terjadi karena disebabkan dari faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik (Susan J. Garisson, 1995: 320). Faktor instrinsik dapat berupa antara lain kurangnya pemanasan, beban lebih, kondisi fisik yang kurang baik maupun kesalahan gerak tubuh, sedangkan faktor ekstrinsik di antaranya adalah alat-alat olahraga yang kurang baik, kondisi lapangan serta cuaca saat melakukan aktivitas fisik.
Di dunia olahraga cedera dapat terjadi berasal dari faktor ekstrinsik seperti kontak keras dengan lawan pada olahraga body contact yang disebabkan karena benturan dengan alat-alat olahraga antara lain stick hockey, bola , dan raket. Selain itu juga dapat disebabkan oleh keadaan lapangan tidak rata yang meningkatkan potensi olahragawan untuk jatuh, terkilir, atau bahkan patah tulang. Penyebab timbul cedera dari faktor instrinsik biasanya terjadi karena koordinasi otot dan sendi yang kurang sempurna, ukuran tungkai yang tidak sama panjang, ketidak seimbangan otot antagonis. Cedera merupakan masalah yang sering terjadi pada dunia olahraga maupun dalam aktivitas sehari-hari dan kejadiannya sulit dhindari. Cedera dapat dikatakan bahwa adanya kesalahan teknis, benturan, maupun aktivitas fisik yang melebihi batas kemampuan tubuh yang dapat menimbulkan rasa sakit sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan anatomis. Ali Satia Graha (2009: 12) menyatakan bahwa cedera secara praktis berdasarkan berat ringannya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, cedera ringan, cedera sedang dan cedera berat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Cedera Tingkat I (Cedera Ringan)
Cedera tingkat I adalah cedera yang diikuti kerusakan yang tidak berarti pada jaringan tubuh, di antaranya kekakuan dari otot, sprain tingkat I, strain tingkat I dan kelelahan.
Biasanya sebagai usaha untuk mempercepat pemulihan kelelahan ini dapat dilakukan menggunakan sport massage untuk merilekskan otot dan melancarkan peredaran darah, sehingga asam laktat yang menyebabkan kelelahan dengan cepat dapat hilang.
2.  Cedera Tingkat II (Cedera Sedang)
Cedera tingkat II ialah tingkatan kerusakan jaringan lebih nyata, dan dapat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari maupun olahraga. Keluhan yang dapat dirasakan yaitu berupa rasa nyeri, bengkak, gangguan fungsi tanda-tanda inflamasi, misalkan strain otot tingkat II dan sprain tingkat II.
Penanganan pada cedera sedang harus cepat dan tepat untuk mengurangi risiko cedera yang semakin parah dan mempercepat proses penyembuhan.
3.  Cedera Tingkat III (Cedera Berat)
Cedera tingkat III merupakan cedera yang sangat serius dengan ditandai adanya kerusakan jaringan pada tubuh, misalkan robek otot dan ligament maupun fraktur atau patah tulang.
Penanganan pertama pasca cedera ini hanya sebatas pembalutan, penghentian pendarahan maupun pembidaian, selanjutnya cepatlah dibawa ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya.
Selain berdasarkan berat ringannya cedera, para ahli juga dapat mengelompokkan cedera menjadi dua berdasarkan penyebab terjadinya, yaitu trauma acute dan overuse (Margono, 2006: 60). Menurut Ali Satia Graha (2009: 45) menyatakan bahwa trauma acute adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan ligament, otot, tendo atau terkilir, dan bahkan patah tulang, sedangkan overuse injury adalah terjadi akibat proses akumulasi dari cedera berulang-ulang dan baru dirasakan atau diketahui setelah bertahun-tahun melakukan aktivitas olahraga (Arif Setiawan, 2011: 95).
Dari berbagai macam cedera di atas, maka dapat diketahui bahwa cedera dapat merusak jaringan tubuh, menurunkan fungsi anggota gerak tubuh sehingga diperlukan penanganan secara cepat dan tepat. Oleh sebab itu untuk mempercepat pemulihan dan semakin memperburuk keadaan diperlukan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga aktivitas sehari-hari maupun berolahraga akan cepat dilaksanakan kembali dengan keadaan yang normal. Adapun tanda-tanda inflamasi yang dapat dilihat dari timbulnya cedera yaitu kalor, tumor, tubor, dolor, functionlaesa (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2009: 43), yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Kalor atau panas karena peningkatan aliran darah yang cedera. Respon tubuh akan mengalirkan darah ke tempat yang mengalami gangguan dengan maksud untuk menyembuhkan, tetapi tubuh juga sering mengalami kesalahan yaitu mengalirkan darah terus menerus sampai gangguan itu sembuh. Padahal dengan mengalirkan sedikit saja sudah menyembuhkan, tetapi tubuh over dosis dalam memberikan penyembuhan. Oleh karena itu diperlukan penanganan untuk pencegahan.
  2. Tumor atau bengkak disebabkan adanya penumbukan cairan pada daerah sekitar jaringan yang cedera. Hal ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi protein di darah (seperti fibrinogen dan gama globulin) yang kemudian menyerap cairan dari sel sekitarnya. Ada kalanya cairan sampai keluar dari pembuluh darah dan menumpuk di jaringan.
  3. Rubor atau merah pada bagian cedera karena adanya pendarahan. Pendarahan ini berupa pecahnya kapiler-kapiler pembuluh darah yang diakibatkan benturan yang sangat keras.
  4. Dolor atau rasa nyeri, karena terjadi penekanan pada syaraf akibat penekanan baik otot maupun tulang. Secara klasik perjalanan nyeri ini mulai dari perifer ke pusat dan bila diteliti lebih dalam, maka perjalanan rasa nyeri ini dapat dibagi menjadi dua tahap (Bambang Priyonoadi, 1995: 8), yaitu:
Sistem Nosiseptif (Nociceptive System) yaitu perjalanan impuls rasa nyeri mulai ditangkap oleh reseptor di periferi, kemudian diteruskan melewati serabut syaraf aferen untuk masuk ke dalam modulla spinalis dan dilanjutkan melalui traktus spinotalamikus lateralis dibawa ke batang otak dan akhirnya masuk ke thalamus. Apabila impuls sudah masuk ke thalamus, maka dikatakan bahwa rasa nyeri (umpleasant sensory) bisa mulai dirasakan, tetapi deskripsinya secara terperinci belum jelas. Sedangkat tahap kedua yaitu perjalanan impuls nyeri dari batang otot ke korteks serebri dan korteks asosiasi. Bila impuls sudah sampai disini maka berat ringannya, sifat, dan lokalisasi nyeri dapat dideskrisipkan dengan jelas dan terperinci oleh yang bersangkutan.

e. Functionleissa atau tidak bisa digunakan lagi, karena kerusakannya sudah cedera berat dan pembengkakan pada sendi akan membatasi pergerakan sendi (ROM), serta adanya rasa nyeri yang menyebabkan orang tidak ingin bergerak.
Dari berbagai macam tanda peradangan yang ditimbulkan karena cedera di atas, maka sebagai usaha untuk meminimalisir risiko cedera yang lebih parah dapat dilakukan penanganan dengan traksi dan reposisi selama cedera yang dialami belum menimbulkan peradangan.
Jika melihat dari penjelasan di atas, maka cedera dapat berdampak pada otot, tendon, ligamen dan tulang. Menurut Bambang Priyonoadi (2006: 8) ada dua jenis cedera pada otot atau tendo dan ligamen, yaitu sprain dan strain. Sprain adalah cedera pada ligamentum, yaitu cedera pada sendi dengan terjadinya peregangan dan robekan pada ligamentum, hal ini terjadi karena stres berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.
Berdasarkan berat ringannya cedera menurut Bambang Priyonoadi (2006: 8) dan Teh (1992: 195),  membagi sprain menjadi tiga tingkatan, yaitu sprain tingkat I, II dan III yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)    Sprain Tingkat I
Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkakan dan rasa sakit pada daerah tersebut.
2)    Sprain Tingkat II
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi (cairan yang keluar) dan biasanya tidak dapat menggerakkan persendian tersebut.
3)  Sprain Tingkat III
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian, pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa dan terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.

Menurut Giam dan Teh (1992: 93) strain adalah kerusakan pada suatu bagian otot atau tendo karena penggunaan yang berlebihan ataupun stres yang berlebihan. Adapun macam strain menurut Sadoso (1995: 15) berdasarkan berat ringannya yaitu starin tingkat I, II dan III yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)     Strain Tingkat I
Pada strain tingkat I, terjadi regangan yang hebat, tetapi belum sampai terjadi robekan pada jaringan muscula tendineus.
2)     Strain Tingkat II
Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada unit musculo tendineus. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit sehingga kekuatan berkurang.
3)     Strain Tingkat III
Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit musculo tendineus. Biasanya hal ini membutuhkan tindakan pembedahan.

Prinsip pencegahan dan perawatan cedera olahraga yang dapat dilakukan oleh pelatih atau tim medis menurut Herdianto Wibowo (1995: 28) adalah (1) Atlet tidak boleh melanjutkan pertandingan, (2) Pertolongan pertama dilakukan dengan traksi dan reposisi secepat mungkin dalam waktu kurang lebih 15 menit, karena pada saat itu atlet tidak merasa lebih nyeri dilakukan reposisi, (3) apabila terjadi pendarahan, hentikan terlebih dahulu. Menurut Novita Intan Arovah (2010: 6) menyatakan bahwa prinsip dasar penanganan fisioterapi pada cedera olahraga di antaranya adalah pada tahap awal cedera di mana belum terjadi tahap peradangan dapat dilakukan reposisi apabila terjadi dislokasi dan pada tahap peradangan dilakukan upaya menekan respon peradangan yang berlebihan melalui proses RICE.
Tarikan (traksi) caranya adalah dengan menarik bagian anggota gerak tubuh yang mengalami cedera khususnya pada sendi ke posisi semula (Ali Satia Graha, 2009: 14). Jadi traksi dalam penanganan cedera pada sendi adalah gerakan menarik sendi agar terjadi regangan pada sendi untuk mempersiapkan reposisi. Traksi ini bertujuan untuk meregangkan ligamen, sehingga dalam melakukan reposisi tidak mengalami sakit dan gesekan antar tulang. Di dunia medis traksi didefinisikan sebagai tarikan pada bagian distal anggota badan pasien dengan tujuan tujuan mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula (Andre C. Sihombing, 2011: 2). Ada dua macam cara traksi dalam dunia medis, yaitu traksi kulit dan traksi skeletal. Traksi kulit dilakukan apabila daya tarik yang diperlukan kecil, sedangkan traksi skeletal dilakukan apabila daya tarik yang dibutuhkan besar dan untuk jangka waktu yang lama.
Reposisi adalah mengembalikan sendi pada posisi tulang pada sendi dengan cara saat penarikan (traksi) pada bagian anggota gerak tubuh yang mengalami cedera khususnya pada bagian sendi dilakukan pemutaran atau penekanan agar sendi kembali pada posisi semula (Ali Satia Graha, 2009: 14). Jadi dapat diartikan bahwa reposisi adalah mengembalikan posisi sendi pada anotomis. Reposisi dilakukan dengan menyesuaikan bentuk sendi, misalkan pada sendi bahu dan panggul yaitu sendi peluru maka reposisi dilakukan dengan memutar, sedangkan untuk sendi lutut dan siku hanya kekiri dan kekanan. Reposisi dilakukan dengan tujuan memperbaiki range of movement (ROM) yaitu luas cakupan gerak sendi.
Setelah cedera mengalami peradangan maka dapat dilakukan penanganan dengan metode RICE (rest, ice, compression dan elevation). Seperti yang diungkapkan oleh Novita Intan Arovah (2010: 6) bahwa pertolongan pertama bagi penderita cedera dan mengalami peradangan harus diberikan RICE yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Rest yaitu istirahat. Hentikan aktivitas atau istirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera. Menghentikan aktivitas atau mengistirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera harus dilakukan, karena hal ini penting untuk pencegahan perluasan cedera dan percepatan penyembuhan. Bila rest tidak dilakukan dan bagian tubuh yang cedera tetap aktif, maka cedera akan menjadi lebih parah dan kesembuhan menjadi lebih lama.
2.  Ice yaitu es. Artinya dinginkan bagian yang cedera dengan kompres es. Tujuan pemberian es segera setelah terjadi cedera adalah agar jaringan di sekitar cedera, termasuk pembuluh darah kapiler menyempit. Keadaan tersebut sangat diperlukan untuk mengurangi pendarahan dan edema, karena bila darah dan cairan tubuh banyak masuk dan tertimbun dalam jaringan yang rusak akibat cedera, maka waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lebih lama. Selain itu kegunaan dan kompres es adalah untuk mengurangi rasa sakit. Pemberian es dilakukan dengan pemberian es yang dibalut dengan handuk dengan cara menempelkan ke anggota tubuh yang mengalami cedera yang biasanya pada persendian selama 2-5 menit sesuai kemampuan individu setelah itu diangkat dan didiamkan sebentar sampai rasa dingin sedikit hilang, selanjutnya ditempelkan kembali. Pengulangan sampai 20 menit.
3.  Compression yaitu penekanan. Artinya tekan bagian yang cedera. Penekanan dapat saja dilakukan dengan tangan atau jari, namun demikian cara ini anjurkan hanya dalam keadaan terpaksa atau darurat. Jadi sebaiknya penekanan dilakukan dengan pembalut elastis. Tujuan dari penekanan ialah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera. Karena dengan demikian diharapkan pembengkakan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dengan demikian kesembuhan jadi lebih cepat.  Karena seperti diketahui bahwa bila terjadi cedera maka jaringan disekitarnya menjadi rusak, mungkin pecah, putus, atau robek. Keadaan demikian memungkinkan darah dan cairan jaringan masuk dan tertimbun di dalam bagian yang cedera makin banyak. Kalau keadaan ini terjadi maka jaringan di sekitar yang cedera menjadi teregang dan waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lama. Memang dalam kondisi tertentu pembengkakan diperlukan, karena ia membawa anti bodi untuk membunuh bibit penyakit, tetapi bila tidak terjadi luka terbuka maka antibodi tidak diperlukan.
4.   Elevation yaitu peninggian. Artinya selama perawatan bagian tubuh yang cedera diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari jantung. Tujuannya yang pertama adalah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera. Kemudian yang kedua agar pengangkutan cairan yang tertimbun dari sel-sel yang sudah rusak dapat diangkut dengan cepat dari dalam jaringan yang cedera.

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa penanganan RICE hanya boleh dilakukan pada cedera akut dan harus tepat karena pemberian RICE yang salah akan memperparah cedera yang dialami, misalkan pemberian es yang terlalu lama akan memberikan efek panas pada lokasi cedera sehingga tidak mengurangi peradangan melainkan vasodilatasi meningkat dan proses penyembuhan cedera menjadi lebih lama.


KESIMPULAN
Pada umumnya penanganan pertama pada cedera ringan (akut) anggota tubuh, baik yang disebabkan karena olahraga maupun non olahraga harus diberi penanganan RICE jika sudah timbul gejala peradangan. Tujuan dari proses RICE adalah mengurangi efek negatif bagi tubuh dari gejala peradangan yang timbul, yaitu kalor, rubor, tumor, dolor dan funtcion leissa. Akan tetapi ketika seseorang terkena cedera pada bagian sendi dapat memanfaatkan waktu sebelum cedera tersebut menimbulkan peradangan atau lebih dikenal dengan golden time, maka penanganan yang harus dilakukan adalah traksi dan reposisi dengan tujuan mengembalikan posisi tulang sendi pada tempatnya sehingga tidak menimbulkan penurunan fungsi yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Satia Graha. (2009). Pedoman dan Modul Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Terapi Masase dan Cedera Olahraga pada Lutut dan Engkel. Yogyakarta: Klinik Terapi Fisik UNY.

Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi. (2009). Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Cedera pada Anggota Tubuh Bagian Atas. Yogyakarta: FIK UNY.

Andre C. Sihombing. (2011). Traksi dalam Ortopedi. Powerpoint. http://images.orthoped.multiply.multiplycontent.com tanggal 7 mei 2012 pukul 20.30 wib.

Antony Eko Raharjo. (2008). Usaha Pencegahan Cedera Pehoki Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FIK UNY.

Arif Setiawan. (2011). Faktor Timbulnya Cedera Olahraga. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia., Volume 1., Edisi 1. Semarang: UNNES.

Bambang Priyonoadi. (1995). Modalitas Terapi Fisik untuk Penanggulangan Nyeri. Yogyakarta: FPOK IKIP Yogyakarta.

C.K.Gian and K.C.Teh. (1992). Ilmu Kedokteran Olahraga. Hartono Satmoko. Terjemahan. Jakarta: Penerbit: FIK UNY.

Herdianto Wibowo. (1995). Pencegahan dan Penatalaksanaan Cedera Olahraga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Margono. (2006). Medikora, Upaya Pencegahan Pulled Muscle pada Sprinter. Yogyakarta: FIK UNY.

Novita Intan Arovah. (2010). Dasar-dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga. Yogyakarta: FIK UNY.

Sadoso Sumosardjuno. (1995). Cedera Olahraga Di Arena. Jakarta: Pusat Ilmu Keolahragaan. Koni Pusat.

Susan J. Garison. (2001). Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta: Hipokrates.