PENANGANAN PERTAMA PADA CEDERA RINGAN AKIBAT AKTIVITAS FISIK
Oleh:
Wawan Agung Raharja, S.Or.
ABSTRAK
Dunia modern saat ini masih sering terjadi salah penafsiran oleh
masyarakat pada umumnya tentang penanganan pertama pada cedera ringan yang
ditimbulkan akibat aktivitas fisik sehari-hari, baik olahraga maupun non
olahraga. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana
melakukan aktivitas atau gerak dengan baik serta bagaimana penanganan pertama
ketika mengalami cedera pada tubuh yang merupakan risiko saat melakukan
aktivitas tersebut. Cedera yang terjadi pada tubuh secara umum dapat
diklasifikasikan dalam beberapa macam berdasarkan tingkatan, yaitu cedera
ringan, sedang, dan berat. Cedera ringan merupakan salah satu bentuk cedera
yang sering terjadi pada tubuh manusia, misal kekakuan otot, sprain dan strain tingkat satu maupun pergeseran posisi tulang pada sendi
tubuh (subluksasi). Selain itu cedera
yang dialami pada tubuh akan menimbulkan gejala peradangan (inflamasi) yang dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda
peradangan, yaitu bengkak, merah, panas, nyeri, dan penurunan fungsi gerak
anggota gerak tubuh. Di dunia medis maupun di lingkungan perguruan tinggi
khususnya fakultas keolahragaan, telah dikenal metode RICE (Rest, Ice, Compression dan Elevation) sebagai upaya penanganan
pertama pada cedera yang menimbulkan gejala peradangan pada tubuh. Penanganan
tersebut bertujuan untuk meminimalisir peradangan yang terjadi maupun mengurangi
risiko yang lebih besar sebelum dilakukan penanganan selanjutnya (medis) apabila
cedera tersebut termasuk cedera sedang maupun berat. Namun semakin
berkembangnya pengetahuan yang ada khususnya di Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Yogyakarta, telah berkembang salah satu metode traksi dan
reposisi sendi yang merupakan bagian dari metode masase cedera olahraga yang
berfungsi untuk mengembalikan posisi tulang pada sendi yang mengalami
pergeseran (subluksasi).
Kata Kunci: Cedera
Ringan, RICE, Traksi dan Reposisi
PENDAHULUAN
Pada zaman modern saat ini banyak berkembang berbagai
macam pengobatan terhadap cedera pada tubuh, baik secara medis maupun non
medis. Kemajuan dan perkembangan yang terjadi merupakan salah satu bentuk upaya
untuk menjaga kesehatan tubuh dan memulihkan kembali cedera yang terjadi pada
tubuh. Cedera akan menimbulkan berbagai macam keluhan pada tubuh apabila tidak
diberi penanganan secara cepat dan tepat, seperti rasa tegang pada otot apabila
tubuh tetap digunakan. Selain itu cedera yang diakibatkan oleh aktivitas fisik
seperti berolahraga akan menimbulkan tanda akut, yaitu tanda respon peradangan pada
tubuh berupa pembengkakan, peningkatan suhu, rasa nyeri, warna merah dan
penurunan fungsi pada anggota gerak tubuh (Novita Intan Arovah, 2010: 3).
Tanda-tanda peradangan pada cedera tubuh tersebut akan berdampak negatif
apabila pada saat penanganan pertama pasca terkena cedera tidak dilakukan cepat
dan tepat.
Pada umumnya, prinsip penanganan cedera akut pada
tubuh dilakukan untuk mengurangi kerusakan lanjutan serta mengurangi keluhan
yang terjadi akibat respon peradangan tubuh. Namun yang terjadi di lapangan, di
ruang lingkup pendidikan maupun di masyarakat umum masih banyak terjadi salah
persepsi dan kurangnya pengetahuan tentang penanganan pertama cedera akut pada
tubuh. Banyak masyarakat maupun olahragawan yang tidak melakukan tindakan
penanganan yang cepat dan tepat, bahkan ada beberapa yang melakukan penanganan
yang salah terhadap timbulnya peradangan akibat dari cedera yang terjadi.
Dari hasil pengamatan penulis tentang penanganan
pertama yang dilakukan masyarakat yaitu pasien Physical Therapy Clinic Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Yogyakarta, baik pasien olahragawan maupun non olahragawan antara lain
sebagai berikut: (1) Banyak pasien tidak melakukan tindakan penanganan pertama
pada cedera yang dialami akibat aktivitas fisik, baik olahraga maupun non
olahraga, (2) Banyak pasien melakukan penanganan pertama pada cedera dengan
metode penanganan yang salah, seperti memberi efek panas pada anggota tubuh
yang mengalami peradangan, (3) Banyak pasien khususnya olahragawan tidak
melakukan istirahat saat mengalami cedera yang menimbulkan peradangan sehingga
memperparah keadaan cedera pada tubuh.
KAJIAN
TEORI
Menurut
Cava (1995: 145) yang dikutip oleh Antony Eko Raharjo (2008: 32), bahwa cedera
merupakan rusaknya jaringan lunak atau keras disebabkan adanya kesalahan
teknis, benturan atau aktivitas fisik yang melebihi batas beban latihan yang
dapat menimbulkan rasa sakit akibat dari kelebihan latihan melalui pembebanan
latihan yang terlalu berat sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan
anatomis. Cedera pada tubuh dapat terjadi karena disebabkan dari faktor
instrinsik dan faktor ekstrinsik (Susan J. Garisson, 1995: 320). Faktor
instrinsik dapat berupa antara lain kurangnya pemanasan, beban lebih, kondisi
fisik yang kurang baik maupun kesalahan gerak tubuh, sedangkan faktor
ekstrinsik di antaranya adalah alat-alat olahraga yang kurang baik, kondisi
lapangan serta cuaca saat melakukan aktivitas fisik.
Di dunia olahraga cedera dapat
terjadi berasal dari faktor ekstrinsik seperti kontak keras dengan lawan pada
olahraga body contact yang disebabkan
karena benturan dengan alat-alat olahraga antara lain stick hockey, bola , dan raket. Selain itu juga dapat disebabkan
oleh keadaan lapangan tidak rata yang meningkatkan potensi olahragawan untuk
jatuh, terkilir, atau bahkan patah tulang. Penyebab timbul cedera dari faktor
instrinsik biasanya terjadi karena koordinasi otot dan sendi yang kurang sempurna,
ukuran tungkai yang tidak sama panjang, ketidak seimbangan otot antagonis. Cedera merupakan masalah yang sering terjadi pada
dunia olahraga maupun dalam aktivitas sehari-hari dan kejadiannya sulit
dhindari. Cedera dapat dikatakan bahwa adanya kesalahan teknis, benturan,
maupun aktivitas fisik yang melebihi batas kemampuan tubuh yang dapat
menimbulkan rasa sakit sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan
anatomis. Ali Satia Graha (2009: 12) menyatakan bahwa cedera secara praktis
berdasarkan berat ringannya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, cedera
ringan, cedera sedang dan cedera berat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Cedera Tingkat I (Cedera Ringan)
Cedera tingkat I adalah cedera yang diikuti kerusakan
yang tidak berarti pada jaringan tubuh, di antaranya kekakuan dari otot, sprain tingkat I, strain tingkat I dan kelelahan.
Biasanya sebagai usaha untuk mempercepat pemulihan kelelahan
ini dapat dilakukan menggunakan sport
massage untuk merilekskan otot dan melancarkan peredaran darah, sehingga
asam laktat yang menyebabkan kelelahan dengan cepat dapat hilang.
2. Cedera Tingkat II (Cedera Sedang)
Cedera tingkat II ialah tingkatan kerusakan jaringan
lebih nyata, dan dapat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari maupun olahraga.
Keluhan yang dapat dirasakan yaitu berupa rasa nyeri, bengkak, gangguan fungsi
tanda-tanda inflamasi, misalkan strain
otot tingkat II dan sprain tingkat
II.
Penanganan pada cedera sedang harus cepat dan tepat
untuk mengurangi risiko cedera yang semakin parah dan mempercepat proses
penyembuhan.
3. Cedera Tingkat III (Cedera Berat)
Cedera tingkat III merupakan cedera yang sangat serius
dengan ditandai adanya kerusakan jaringan pada tubuh, misalkan robek otot dan ligament maupun fraktur atau patah tulang.
Penanganan pertama pasca cedera ini hanya sebatas
pembalutan, penghentian pendarahan maupun pembidaian, selanjutnya cepatlah
dibawa ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya.
Selain berdasarkan berat ringannya cedera, para ahli
juga dapat mengelompokkan cedera menjadi dua berdasarkan penyebab terjadinya,
yaitu trauma acute dan overuse (Margono, 2006: 60). Menurut Ali
Satia Graha (2009: 45) menyatakan bahwa trauma
acute adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti
robekan ligament, otot, tendo atau terkilir, dan bahkan patah tulang, sedangkan
overuse injury adalah terjadi akibat
proses akumulasi dari cedera berulang-ulang dan baru dirasakan atau diketahui
setelah bertahun-tahun melakukan aktivitas olahraga (Arif Setiawan, 2011: 95).
Dari berbagai macam cedera di atas, maka dapat
diketahui bahwa cedera dapat merusak jaringan tubuh, menurunkan fungsi anggota
gerak tubuh sehingga diperlukan penanganan secara cepat dan tepat. Oleh sebab
itu untuk mempercepat pemulihan dan semakin memperburuk keadaan diperlukan
penanganan yang cepat dan tepat, sehingga aktivitas sehari-hari maupun
berolahraga akan cepat dilaksanakan kembali dengan keadaan yang normal. Adapun
tanda-tanda inflamasi yang dapat dilihat dari timbulnya cedera yaitu kalor, tumor, tubor, dolor, functionlaesa (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2009: 43),
yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Kalor atau panas karena peningkatan aliran darah yang cedera. Respon tubuh akan mengalirkan darah ke tempat yang mengalami gangguan dengan maksud untuk menyembuhkan, tetapi tubuh juga sering mengalami kesalahan yaitu mengalirkan darah terus menerus sampai gangguan itu sembuh. Padahal dengan mengalirkan sedikit saja sudah menyembuhkan, tetapi tubuh over dosis dalam memberikan penyembuhan. Oleh karena itu diperlukan penanganan untuk pencegahan.
- Tumor atau bengkak disebabkan adanya penumbukan cairan pada daerah sekitar jaringan yang cedera. Hal ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi protein di darah (seperti fibrinogen dan gama globulin) yang kemudian menyerap cairan dari sel sekitarnya. Ada kalanya cairan sampai keluar dari pembuluh darah dan menumpuk di jaringan.
- Rubor atau merah pada bagian cedera karena adanya pendarahan. Pendarahan ini berupa pecahnya kapiler-kapiler pembuluh darah yang diakibatkan benturan yang sangat keras.
- Dolor atau rasa nyeri, karena terjadi penekanan pada syaraf akibat penekanan baik otot maupun tulang. Secara klasik perjalanan nyeri ini mulai dari perifer ke pusat dan bila diteliti lebih dalam, maka perjalanan rasa nyeri ini dapat dibagi menjadi dua tahap (Bambang Priyonoadi, 1995: 8), yaitu:
Sistem Nosiseptif (Nociceptive
System) yaitu perjalanan impuls rasa nyeri mulai ditangkap oleh reseptor di
periferi, kemudian diteruskan melewati serabut syaraf aferen untuk masuk ke
dalam modulla spinalis dan
dilanjutkan melalui traktus
spinotalamikus lateralis dibawa ke batang otak dan akhirnya masuk ke thalamus. Apabila impuls sudah masuk ke thalamus, maka dikatakan bahwa rasa
nyeri (umpleasant sensory) bisa mulai
dirasakan, tetapi deskripsinya secara terperinci belum jelas. Sedangkat tahap
kedua yaitu perjalanan impuls nyeri dari batang otot ke korteks serebri dan
korteks asosiasi. Bila impuls sudah sampai disini maka berat ringannya, sifat,
dan lokalisasi nyeri dapat dideskrisipkan dengan jelas dan terperinci oleh yang
bersangkutan.
e. Functionleissa
atau tidak bisa digunakan lagi, karena kerusakannya sudah cedera berat dan
pembengkakan pada sendi akan membatasi pergerakan sendi (ROM), serta adanya
rasa nyeri yang menyebabkan orang tidak ingin bergerak.
Dari berbagai macam tanda peradangan yang ditimbulkan
karena cedera di atas, maka sebagai usaha untuk meminimalisir risiko cedera
yang lebih parah dapat dilakukan penanganan dengan traksi dan reposisi selama cedera
yang dialami belum menimbulkan peradangan.
Jika melihat dari penjelasan di atas, maka cedera
dapat berdampak pada otot, tendon, ligamen dan tulang. Menurut Bambang
Priyonoadi (2006: 8) ada dua jenis cedera pada otot atau tendo dan ligamen,
yaitu sprain dan strain. Sprain adalah cedera
pada ligamentum, yaitu cedera
pada sendi dengan terjadinya peregangan dan robekan pada ligamentum,
hal ini terjadi karena stres
berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari
sendi.
Berdasarkan berat ringannya cedera menurut Bambang
Priyonoadi (2006: 8) dan Teh (1992: 195),
membagi sprain menjadi tiga tingkatan, yaitu sprain tingkat I, II
dan III yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)
Sprain Tingkat I
Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam
ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri
tekan, pembengkakan dan rasa sakit pada daerah tersebut.
2)
Sprain Tingkat II
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan
rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi (cairan yang keluar) dan biasanya
tidak dapat menggerakkan persendian tersebut.
3)
Sprain Tingkat III
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang
bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian, pembekakan,
tidak dapat bergerak seperti biasa dan terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.
Menurut Giam
dan Teh (1992: 93) strain adalah
kerusakan pada suatu bagian otot atau tendo karena penggunaan yang berlebihan
ataupun stres yang berlebihan. Adapun macam strain
menurut Sadoso (1995: 15) berdasarkan berat ringannya yaitu starin tingkat I,
II dan III yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)
Strain Tingkat I
Pada strain tingkat I, terjadi regangan yang
hebat, tetapi belum sampai terjadi robekan pada jaringan muscula tendineus.
2) Strain Tingkat II
Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada unit
musculo tendineus. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit sehingga
kekuatan berkurang.
3)
Strain Tingkat III
Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit musculo tendineus. Biasanya hal ini
membutuhkan tindakan pembedahan.
Prinsip pencegahan dan perawatan cedera olahraga yang
dapat dilakukan oleh pelatih atau tim medis menurut Herdianto Wibowo (1995: 28)
adalah (1) Atlet tidak boleh melanjutkan pertandingan, (2) Pertolongan pertama
dilakukan dengan traksi dan reposisi secepat mungkin dalam waktu kurang lebih
15 menit, karena pada saat itu atlet tidak merasa lebih nyeri dilakukan
reposisi, (3) apabila terjadi pendarahan, hentikan terlebih dahulu. Menurut
Novita Intan Arovah (2010: 6) menyatakan bahwa prinsip dasar penanganan
fisioterapi pada cedera olahraga di antaranya adalah pada tahap awal cedera di
mana belum terjadi tahap peradangan dapat dilakukan reposisi apabila terjadi
dislokasi dan pada tahap peradangan dilakukan upaya menekan respon peradangan
yang berlebihan melalui proses RICE.
Tarikan (traksi) caranya
adalah dengan menarik bagian anggota gerak tubuh yang mengalami cedera
khususnya pada sendi ke posisi semula (Ali Satia Graha, 2009: 14). Jadi traksi dalam penanganan cedera pada sendi adalah
gerakan menarik sendi agar terjadi regangan pada sendi untuk mempersiapkan
reposisi. Traksi ini bertujuan untuk meregangkan ligamen, sehingga dalam
melakukan reposisi tidak mengalami sakit dan gesekan antar tulang. Di dunia
medis traksi didefinisikan sebagai tarikan pada bagian distal anggota badan
pasien dengan tujuan tujuan mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula
(Andre C. Sihombing, 2011: 2). Ada dua macam cara traksi dalam dunia medis,
yaitu traksi kulit dan traksi skeletal. Traksi kulit dilakukan apabila daya
tarik yang diperlukan kecil, sedangkan traksi skeletal dilakukan apabila daya
tarik yang dibutuhkan besar dan untuk jangka waktu yang lama.
Reposisi adalah mengembalikan sendi pada posisi tulang pada sendi dengan
cara saat penarikan (traksi) pada bagian anggota gerak tubuh yang mengalami cedera
khususnya pada bagian sendi dilakukan pemutaran atau penekanan agar sendi
kembali pada posisi semula (Ali Satia Graha, 2009: 14). Jadi dapat diartikan bahwa
reposisi adalah mengembalikan posisi sendi pada
anotomis. Reposisi dilakukan dengan menyesuaikan bentuk sendi, misalkan pada
sendi bahu dan panggul yaitu sendi peluru maka reposisi dilakukan dengan
memutar, sedangkan untuk sendi lutut dan siku hanya kekiri dan kekanan.
Reposisi dilakukan dengan tujuan memperbaiki range of movement (ROM) yaitu luas cakupan gerak sendi.
Setelah cedera mengalami
peradangan maka dapat dilakukan penanganan dengan metode RICE (rest, ice, compression dan elevation). Seperti yang diungkapkan oleh Novita Intan Arovah
(2010: 6) bahwa pertolongan pertama bagi penderita cedera dan mengalami
peradangan harus diberikan RICE yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Rest yaitu istirahat. Hentikan aktivitas atau
istirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera. Menghentikan aktivitas atau
mengistirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera harus dilakukan, karena hal
ini penting untuk pencegahan perluasan cedera dan percepatan penyembuhan. Bila rest tidak dilakukan dan bagian tubuh
yang cedera tetap aktif, maka cedera akan menjadi lebih parah dan kesembuhan
menjadi lebih lama.
2. Ice yaitu es. Artinya dinginkan bagian yang cedera
dengan kompres es. Tujuan pemberian es segera setelah terjadi cedera adalah agar
jaringan di sekitar cedera, termasuk pembuluh darah kapiler menyempit. Keadaan
tersebut sangat diperlukan untuk mengurangi pendarahan dan edema, karena bila
darah dan cairan tubuh banyak masuk dan tertimbun dalam jaringan yang rusak
akibat cedera, maka waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lebih lama.
Selain itu kegunaan dan kompres es adalah untuk mengurangi rasa sakit. Pemberian es
dilakukan dengan pemberian es yang dibalut dengan handuk dengan cara
menempelkan ke anggota tubuh yang mengalami cedera yang biasanya pada
persendian selama 2-5 menit sesuai kemampuan individu setelah itu diangkat dan
didiamkan sebentar sampai rasa dingin sedikit hilang, selanjutnya ditempelkan
kembali. Pengulangan sampai 20 menit.
3. Compression
yaitu penekanan. Artinya tekan
bagian yang cedera. Penekanan dapat saja dilakukan dengan tangan atau jari,
namun demikian cara ini anjurkan hanya dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Jadi sebaiknya penekanan dilakukan dengan pembalut elastis. Tujuan dari
penekanan ialah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera.
Karena dengan demikian diharapkan pembengkakan menjadi lebih kecil dari yang
seharusnya dengan demikian kesembuhan jadi lebih cepat. Karena seperti diketahui bahwa bila terjadi
cedera maka jaringan disekitarnya menjadi rusak, mungkin pecah, putus, atau
robek. Keadaan demikian memungkinkan darah dan cairan jaringan masuk dan
tertimbun di dalam bagian yang cedera makin banyak. Kalau keadaan ini terjadi
maka jaringan di sekitar yang cedera menjadi teregang dan waktu yang diperlukan
untuk sembuh menjadi lama. Memang dalam kondisi tertentu pembengkakan
diperlukan, karena ia membawa anti bodi untuk membunuh bibit penyakit, tetapi
bila tidak terjadi luka terbuka maka antibodi tidak diperlukan.
4. Elevation yaitu peninggian. Artinya selama perawatan
bagian tubuh yang cedera diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari jantung.
Tujuannya yang pertama adalah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke
bagian cedera. Kemudian yang kedua agar pengangkutan cairan yang tertimbun dari
sel-sel yang sudah rusak dapat diangkut dengan cepat dari dalam jaringan yang
cedera.
Dari penjelasan di atas,
maka dapat diketahui bahwa penanganan RICE hanya boleh dilakukan pada cedera
akut dan harus tepat karena pemberian RICE
yang salah akan memperparah cedera yang dialami, misalkan pemberian es yang
terlalu lama akan memberikan efek panas pada lokasi cedera sehingga tidak
mengurangi peradangan melainkan vasodilatasi meningkat dan proses penyembuhan
cedera menjadi lebih lama.
KESIMPULAN
Pada umumnya penanganan pertama
pada cedera ringan (akut) anggota tubuh, baik yang disebabkan karena olahraga
maupun non olahraga harus diberi penanganan RICE
jika sudah timbul gejala peradangan. Tujuan dari proses RICE adalah mengurangi efek negatif bagi tubuh dari gejala
peradangan yang timbul, yaitu kalor, rubor,
tumor, dolor dan funtcion leissa.
Akan tetapi ketika seseorang terkena cedera pada bagian sendi dapat
memanfaatkan waktu sebelum cedera tersebut menimbulkan peradangan atau lebih
dikenal dengan golden time, maka
penanganan yang harus dilakukan adalah traksi dan reposisi dengan tujuan
mengembalikan posisi tulang sendi pada tempatnya sehingga tidak menimbulkan
penurunan fungsi yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Satia Graha. (2009). Pedoman
dan Modul Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Terapi Masase dan Cedera
Olahraga pada Lutut dan Engkel. Yogyakarta: Klinik Terapi Fisik UNY.
Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi. (2009). Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Cedera pada Anggota Tubuh Bagian
Atas. Yogyakarta: FIK UNY.
Andre C. Sihombing. (2011). Traksi
dalam Ortopedi. Powerpoint. http://images.orthoped.multiply.multiplycontent.com
tanggal 7 mei 2012 pukul 20.30 wib.
Antony Eko Raharjo. (2008). Usaha
Pencegahan Cedera Pehoki Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta:
FIK UNY.
Arif Setiawan. (2011). Faktor Timbulnya Cedera Olahraga. Jurnal
Media Ilmu Keolahragaan Indonesia., Volume 1.,
Edisi 1. Semarang: UNNES.
Bambang Priyonoadi. (1995). Modalitas
Terapi Fisik untuk Penanggulangan Nyeri. Yogyakarta: FPOK IKIP Yogyakarta.
C.K.Gian and K.C.Teh. (1992). Ilmu
Kedokteran Olahraga. Hartono Satmoko. Terjemahan. Jakarta: Penerbit: FIK
UNY.
Herdianto Wibowo. (1995). Pencegahan
dan Penatalaksanaan Cedera Olahraga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Margono.
(2006). Medikora, Upaya Pencegahan Pulled
Muscle pada Sprinter. Yogyakarta:
FIK UNY.
Novita Intan Arovah. (2010). Dasar-dasar
Fisioterapi pada Cedera Olahraga. Yogyakarta: FIK UNY.
Sadoso Sumosardjuno. (1995). Cedera Olahraga Di Arena.
Jakarta: Pusat Ilmu Keolahragaan. Koni Pusat.
Susan J.
Garison. (2001). Dasar-Dasar Terapi dan
Rehabilitasi Fisik. Jakarta: Hipokrates.