About

Rileks dengan Masase

Dapat Memperlancar Peredaran Darah dan Merangsang Sistem Saraf.

Ruang Masase

Ruang yang Nyaman dan Aman bagi Pasien.

Gerakan dalam Masase

Teknik Traksi dan Reposisi Sendi Panggul.

Pemateri dan Asisten Pemateri Pelatihan

Acara Pelatihan Masase Terapi yang Diselenggarakan Dispora Provinsi Lampung.

Salah Satu Tempat Masase Terapi di Jogja

Masase Terapi Cedera Olahraga Metode Ali Satia Graha.

Sunday, 25 October 2015

CEDERA DAN VITAMIN E

BAB I PENDAHULUAN

  A. Latar Belakang Masalah 
Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat terlepas dari aktivitas fisik seperti duduk, berjalan, bekerja, mencuci, berolahraga dan lain-lain. Segala macam bentuk aktivitas tersebut memerlukan energi untuk bergerak atau melakukan aktivitas yang dibutuhkan oleh tubuh. Seperti yang di ungkapkan oleh Faizati Karim, (2002: 6). Aktivitas fisik atau bergerak adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi. Maka perkembangan zaman modern saat ini aktivitas itu sendiri dapat dilihat dari terprogram atau terukur tidaknya aktivitas tersebut. Jika melihat dari aktivitas yang dilakukan, maka setiap aktivitas memerlukan energi yang berbeda-beda. Misal pada orang yang melakukan aktivitas berjalan lebih sedikit energi yang dibutuhkan dari pada saat berlari dengan jarak yang sama. Pada era modern ini telah banyak ilmuwan, dokter maupun praktisi kesehatan yang menguasai tentang ilmu gizi, kesehatan dan kebugaran jasmani sehingga setiap masyarakat dapat mengetahui bagaimana asupan makanan sebagai sumber energi yang dibutuhkan tubuh serta berapa energi yang dikeluarkan saat masyarakat tersebut melakukan aktivitas. Khususnya dalam olahraga makanan sangat penting sebagai sumber energi dalam melakukan olahraga, misal dalam olahraga prestasi cabang olahraga sepakbola, makanan yang dibutuhkan sebelum, saat dan setelah berlatih maupun bertanding sangatlah penting untuk menunjang prestasi sesuai perhitungan energi yang dibutuhkan dalam aktivitas olahraga tersebut. Jadi setiap gerak atau aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat untuk dapat memelihara dan mempertahankan kesehatan sangat diperlukan makanan yang berupa zat gizi sebagai energi yang dibutuhkan. Selain energi yang diperoleh dari makanan, masyarakat harus memperhatikan berapa energi yang keluar untuk melakukan aktivitas tersebut sehingga energi yang dihasilkan seimbang dengan energi yang dikeluarkan. Salah satu aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat adalah olahraga. Olahraga merupakan salah satu aktivitas fisik yang dapat dilakukan di mana saja, kapan saja serta berperan penting bagi masyarakat bermanfaat untuk memelihara maupun meningkatkan kualitas gerak pada tubuh. Menurut Faizati Karim (2002: 5) menyatakan bahwa olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Olahraga juga yang dilakukan secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit diabetes, sedangkan olahraga yang maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres baik stres fisik maupun mental yang mengakibatkan terjadinya kerusakan membran sel serta mengurangi kadar estrogen yang akhirnya mengakibatkan osteoporosis.
Di lapangan banyak terdapat kasus bahwa setiap orang ingin melakukan olahraga untuk menjaga kesehatan maupun kebugaran tubuh, namun seringkali masyarakat mengabaikan kondisi fisik sebelum melakukan olahraga seperti sedang sakit maupun lelah yang akhirnya menambah dampak negatif bagi tubuh setelah melakukan olahraga. Akibat aktivitas yang berlebih pada tubuh akan berdampak tingkat kelelahan yang tinggi bahkan timbul cedera pada tubuh. Jika hal ini sudah terjadi maka masyarakat sering melakukan pemulihan dengan berbagai cara baik secara medis dengan obat maupun non medis dengan masase serta menkonsumsi makanan yang mengandung vitamin. Salah satu vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh akibat aktivitas yang berlebih adalah vitamin E yang bermanfaat bagi kulit, otot serta pencegahan radikal bebas. Dari berbagai penjelasan di atas, maka penulis dalam makalah kali ini akan membahas lebih dalam lagi tentang manfaat vitamin E pasca cedera.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apa manfaat dari vitamin E bagi tubuh?
2. Bagaimana penerapan mengkonsumsi vitamin E pasca cedera pada tubuh?

C. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui kajian tentang manfaat vitamin E pasca cedera.

 BAB II PEMBAHASAN

 A. Cedera pada Tubuh
Cedera adalah kelainan yang terjadi pada tubuh yang mengakibatkan timbulnya nyeri, panas, merah, bengkak, dan tidak dapat berfungsi baik pada otot, tendon, ligamen, persendian ataupun tulang akibat aktivitas gerak yang berlebihan atau kecelakaan (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2009: 42). Selain itu cedera juga dapat terjadi pada aktivitas apapun dengan waktu yang relatif singkat baik secara sadar maupun tidak disadari. Cedera yang terjadi pada tubuh dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrisik. Faktor intrinsik adalah faktor yang unsur-unsurnya sudah ada dalam diri seseorang. Hal ini meliputi kelemahan jaringan, fleksibilitas, kesalahan biomekanika, dan kurangnya pengkondisian. Faktor ekstrinsik meliputi perlengkapan yang salah, kekuatan-kekuatan yang dikendalikan dari luar, seperti perlengkapan yang salah, atlet lain, permukaan lapangan, pelatih dan cuaca (Susan J. Garrison, 2001: 320-321).
Adapun macam cedera menurut Ali Satia Graha (2009: 12) bahwa cedera secara praktis berdasarkan berat ringannya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, cedera ringan, cedera sedang dan cedera berat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Cedera Tingkat I (Cedera Ringan) Cedera tingkat I adalah cedera yang diikuti kerusakan yang tidak berarti pada jaringan tubuh, di antaranya kekakuan dari otot, sprain tingkat I, strain tingkat I dan kelelahan. 2. Cedera Tingkat II (Cedera Sedang) Cedera tingkat II ialah tingkatan kerusakan jaringan lebih nyata, dan dapat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari maupun olahraga. Keluhan yang dapat dirasakan yaitu berupa rasa nyeri, bengkak, gangguan fungsi tanda-tanda inflamasi, misalkan strain otot tingkat II dan sprain tingkat II.
3. Cedera Tingkat III (Cedera Berat) Cedera tingkat III merupakan cedera yang sangat serius dengan ditandai adanya kerusakan jaringan pada tubuh, misalkan robek otot dan ligament maupun fraktur atau patah tulang. Selain berdasarkan berat ringannya cedera, para ahli juga dapat mengelompokkan cedera menjadi dua berdasarkan penyebab terjadinya, yaitu trauma acute dan overuse (Margono, 2006: 60).
Menurut Ali Satia Graha (2009: 45) menyatakan bahwa trauma acute adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan ligament, otot, tendo atau terkilir, dan bahkan patah tulang, sedangkan overuse injury adalah terjadi akibat proses akumulasi dari cedera berulang-ulang dan baru dirasakan atau diketahui setelah bertahun-tahun melakukan aktivitas olahraga (Arif Setiawan, 2011: 95).
Dari berbagai macam cedera di atas, maka dapat diketahui bahwa cedera dapat merusak jaringan tubuh, menurunkan fungsi anggota gerak tubuh sehingga diperlukan penanganan secara cepat dan tepat. Oleh sebab itu untuk mempercepat pemulihan dan semakin memperburuk keadaan diperlukan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga aktivitas sehari-hari maupun berolahraga akan cepat dilaksanakan kembali dengan keadaan yang normal. Adapun tanda-tanda inflamasi yang dapat dilihat dari timbulnya cedera yaitu kalor, tumor, tubor, dolor, functionlaesa (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2009: 43), yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kalor atau panas karena peningkatan aliran darah yang cedera. Respon tubuh akan mengalirkan darah ke tempat yang mengalami gangguan dengan maksud untuk menyembuhkan, tetapi tubuh juga sering mengalami kesalahan yaitu mengalirkan darah terus menerus sampai gangguan itu sembuh. Padahal dengan mengalirkan sedikit saja sudah menyembuhkan, tetapi tubuh over dosis dalam memberikan penyembuhan. Oleh karena itu diperlukan penanganan untuk pencegahan.
b. Tumor atau bengkak disebabkan adanya penumbukan cairan pada daerah sekitar jaringan yang cedera. Hal ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi protein di darah (seperti fibrinogen dan gama globulin) yang kemudian menyerap cairan dari sel sekitarnya. Ada kalanya cairan sampai keluar dari pembuluh darah dan menumpuk di jaringan.
c. Rubor atau merah pada bagian cedera karena adanya pendarahan. Pendarahan ini berupa pecahnya kapiler-kapiler pembuluh darah yang diakibatkan benturan yang sangat keras.
d. Dolor atau rasa nyeri, karena terjadi penekanan pada syaraf akibat penekanan baik otot maupun tulang.
Secara klasik perjalanan nyeri ini mulai dari perifer ke pusat dan bila diteliti lebih dalam, maka perjalanan rasa nyeri ini dapat dibagi menjadi dua tahap (Bambang Priyonoadi, 1995: 8), yaitu: Sistem Nosiseptif (Nociceptive System) yaitu perjalanan impuls rasa nyeri mulai ditangkap oleh reseptor di periferi, kemudian diteruskan melewati serabut syaraf aferen untuk masuk ke dalam modulla spinalis dan dilanjutkan melalui traktus spinotalamikus lateralis dibawa ke batang otak dan akhirnya masuk ke thalamus. Apabila impuls sudah masuk ke thalamus, maka dikatakan bahwa rasa nyeri (umpleasant sensory) bisa mulai dirasakan, tetapi deskripsinya secara terperinci belum jelas. Sedangkat tahap kedua yaitu perjalanan impuls nyeri dari batang otot ke korteks serebri dan korteks asosiasi. Bila impuls sudah sampai disini maka berat ringannya, sifat, dan lokalisasi nyeri dapat dideskrisipkan dengan jelas dan terperinci oleh yang bersangkutan.
e. Functionleissa atau tidak bisa digunakan lagi, karena kerusakannya sudah cedera berat dan pembengkakan pada sendi akan membatasi pergerakan sendi (ROM), serta adanya rasa nyeri yang menyebabkan orang tidak ingin bergerak.
Selain cedera di atas menurut Novita Intan Arovah (2010: 4-10) cedera pada tubuh juga dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam, antara lain:
1. Memar
Memar adalah keadaan cedera yang terjadi pada jaringan ikat di bawah kulit. Memar biasanya diakibatkan oleh benturan atau pukulan pada kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya. Memar ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit. Apabila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan di daerah yang terbatas disebut hermatoma. Nyeri pada memar biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang menyertai sedang sampai berat. Adapun memar yang mungkin terjadi pada daerah kepala, bahu, siku, tangan, dada, perut dan kaki. Benturan yang keras pada kepala dapat mengakibatkan memar dan memungkinkan luka sayat.
2. Dislokasi
Dislokasi adalah terlepasnya sebuah sendi dari tempatnya yang seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi di bahu, engkel (pergelangan kaki), lutut dan panggul. Faktor yang meningkatkan resiko dislokasi adalah ligamen-ligamennya yang kendor akibat pernah mengalami cedera, kekuatan otot yang menurun ataupun karena faktor eksternal yang berupa tekanan energi dari luar yang melebihi ketahanan alamiah jaringan dalam tubuh.
3. Patah tulang
Patah tulang adalah suatu keadaan yang mengalami keretakan, pecah atau patah, baik pada tulang maupun tulang rawan. Fraktur berdasarkan continuitas patahan, patah tulang dapat digolongkan menjadi dua yaitu: a. Patah tulang komplek, di mana tulang terputus sama sakali. b. Patah tulang stress, di mana tulang retak, tetapi tidak terpisah.
4. Kram Otot
Kram otot adalah kontraksi yang terus menerus yang dialami oleh otot atau sekelompok otot dan mengakibatkan rasa nyeri. Penyebab kram adalah otot yang terlalu lelah, kurangnya pemanasan serta peregangan, adanya gangguan sirkulasi darah yang menuju ke otot sehingga menimbulkan kejang. Beberapa hal yang dapat menimbulkan kram antara lain adalah: a. Kelelahan otot saat berolahraga sehingga terjadi akumulasi sisa metabolik yang menumpuk berupa asam laktat kemudian merangsang otot dan saraf hingga terjadi kram. b. Kurang memadainya pemanasan serta pendinginan sehingga tubuh kurang memiliki kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap latihan.
5. Luka
Luka didefinisikan sebagai suatu ketidaksinambungan dari kulit dan jaringan di bawahnya yang mengakibatkan pendarahan yang kemudian dapat mengalami infeksi. Seluruh tubuh mempunyai kemungkinan besar untuk mengalami luka, karena setiap perenang akan melakukan kontak langsung pada saat latihan dan bisa juga luka karena peralatan yang dipakai. Dari berbagai penjelasan di atas diketahui bahwa cedera dapat terjadi pada otot, ligamen, tendo maupun persendian yang berdampak pada kerusakan maupun gangguan pada jaringan tubuh.

 B. Vitamin E
Menurut Susanto (2006: 4) menyatakan bahwa ada sembilan keampuhan vitamin E dalam melawan radikal bebas sepetri di bawah ini:
1. Vitamin E dan polutan
Dua polutan udara yang sangat merusak adalah ozon dan nitrogen. Ozon diproduksi dari nitrogen dioksida (NO2), oksigen, dan uap gasolin tak terbakar. Sumber utama NO2 adalah proses pembakaran pada mesin mobil. Asap rokok yang tersusun lebih dari 3.000 senyawa kimia termasuk beberapa senyawa beracun, di antaranya adalah NO2. Nitrogen dioksida dan ozon merupakan radikal bebas yang tidak stabil. Senyawa tersebut dapat merusak paru-paru dengan menyerang lemak tak jenuh dalam membran sel dan akibat yang ditimbulkan bersifat irreversible (tidak terpulihkan). Bahkan dalam tingkat yang rendah sampai 1 ppm (part per million) sekalipun. Sistem pertahanan untuk melindungi tubuh dari radikal bebas adalah antioksidan.
2. Vitamin E dan olahraga
Selama olahraga, tubuh mengambil dan menggunakan oksigen pada kecepatan tinggi. Latihan fisik berhubungan dengan kecepatan peroksidasi lipid. Aktivitas fisik tinggi, semisal olahragawan, disarankan untuk mengkonsumsi antioksidan primer yang lebih tinggi pula. Peran vitamin E dalam melawan radikal bebas yang terakumulasi selama latihan telah dibuktikan dalam studi terhadap beberapa sukarelawan. Suplementasi harian dengan 1.200 IU (International Unit) vitamin E selama dua minggu, dapat menurunkan ekskresi pentane pernapasan saat istirahat maupun selama latihan.
3. Vitamin E dan penuaan
Penelitian terhadap efek penuaan menunjukkan, radikal bebas dapat merusak sel tubuh dan menyebabkan perubahan patologis yang berhubungan dengan penuaan. Vitamin E dapat mengakhiri proses reaksi berantai radikal bebas, dengan menghambat produksi radikal bebas yang baru dan membatasi perusakan sampai batas area membran sel.
4. Vitamin E dan penyakit jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian yang terjadi di dunia Barat. Faktor diet tertentu yang menyangkut kasus penyakit jantung; tingkat kolesterol yang tinggi, terutama LDL (low density lipoprotein) kolesterol, berhubungan dengan peningkatan risiko aterosklerosis.
5. Vitamin E dan saraf
Demo terbaru menunjukkan, vitamin E mempunyai peran pokok dalam memelihara struktur dan fungsi sistem saraf manusia. Lancet melaporkan, defisiensi vitamin E akan mengawali dan "mengabadikan" kemerosotan perkembangan saraf otot pada anak-anak dan remaja. Akibat neurologis ini bersifat irreversible jika perlakuannya terlambat. Vitamin E dan antioksidan lain juga membantu mengurangi kepelikan (severity) dan gejala keterlambatan kemajuan pada penyakit saraf tertentu.
6. Vitamin E dan katarak
Katarak (keruhnya lensa kristal pada mata) merupakan permasalahan utama pada usia tua karena berkurangnya penglihatan sampai terjadinya buta. Lensa mata yang selalu terbuka terhadap sinar dan pembawa oksigen, sangat rentan terhadap sinar penyebab peroksidasi lemak. Proses oksidasi tersebut dipercaya merupakan hal penting dan mempercepat perkembangan katarak. Beberapa studi menunjukkan, suplementasi vitamin E tidak akan melindungi katarak, tetapi keterlambatan pemberian vitamin E (defisiensi) dapat menyebabkan serangan katarak. Orang yang konsentrasi plasma darahnya tinggi akan dua atau tiga jenis antioksidan (vitamin E, vitamin C, dan karotenoid) mempunyai risiko terserang katarak relatif lebih rendah dibandingkan dengan orang yang konsentrasi salah satu atau lebih antioksidannya lebih rendah.
7. Vitamin E dan kanker
Senyawa yang termasuk golongan "antikarsinogenik" bekerja menekan kanker dengan beberapa cara, yaitu pertama menghambat inisiasi tumor dengan merubah fungsi sel. Kedua, "menjemput" bentuk aktif karsinogen dan mengalangi sasaran yang akan diserang. Ketiga, meningkatkan sistem pertahanan tubuh. Keempat, menghambat gerak karsinogen sebelum inisiasi kanker. Antioksidan mempunyai fungsi yang relevan dengan fungsi di atas dalam mengontrol dan mencegah kanker. Selain sebagai pemakan radikal bebas, vitamin E berperan meningkatkan ketahanan tubuh. Vitamin E melindungi vitamin A dari kerusakan dalam tubuh dan menyelamatkan selenium. Vitamin E juga berperan mencegah konversi nitrit menjadi nitrosamin (salah satu pemicu kanker) dan meningkatkan respons kekebalan. Beberapa literatur menyebutkan, antioksidan dapat menekan kanker dengan efektif, serta defisiensi senyawa ini dapat meningkatkan risiko terkena kanker tertentu.
8. Vitamin E dan kekebalan
Sistem pertahanan tubuh manusia dikenal sebagai substansi asing dan berperan melindungi tubuh dari serangan. Selain itu juga untuk mengenali dan merusak bentuk sel aktif pemicu kanker. Ditekankan, vitamin E merupakan rantai vital dalam fungsinya sebagai sistem kekebalan yang optimal dan meningkatkan pertahanan tubuh dari penyakit. Beberapa studi menunjukkan, defisiensi vitamin E akan menekan produksi antibodi dan merusak respons kekebalan. Vitamin E sebagai antioksidan primer berperan melindungi lemak komponen semua membran sel sebab mampu melindungi sel dari radikal bebas, juga penstabil dan pengatur membran sel untuk menjaga fungsi sel secara optimal. Selain itu vitamin E berperan mengatur sintesis prostaglandin (senyawa aktif yang diperoleh dari kelenjar prostat dan kandung mani), yang penting mengatur respons kekebalan.
9. Vitamin E dan kulit
Kulit merupakan lapisan terluar yang melindungi tubuh terutama dari radikal bebas, baik serangan fisik maupun biologis. Radikal bebas tersebut juga melibatkan sinar ultraviolet dan radiasi ionisasi pada sel epidermal. Untungnya sel epidermis mengandung antioksidan seperti vitamin E, ubiquinin, vitamin C, glutation, enzim superoksidase dismutase, katalase, glutation reduktase, dan glutation peroksidase. Antioksidan tersebut mampu mengubah dan memadamkan potensi merusak dari radikal bebas. Seperti beberapa bahan kosmetik dilengkapi dengan vitamin C, atau vitamin E untuk sabun kecantikan, tidak lain karena kedua vitamin tersebut mempunyai sifat antioksidan. Dengan begitu banyaknya hal yang bisa dilakukan oleh vitamin E (dan atioksidan lain) dalam menjaga kesehatan, terutama dalam melawan radikal bebas.
Dari berbagai penjelasan di atas maka diketahui bahwa vitamin E berfungsi untuk mengembalikan sel-sel yang rusak, gangguan saraf akibat aktivitas yang dilakukan. Pemberian vitamin E dapat diterapkan pasca cedera ketika cedera telah diberi penanganan secara cepat dan tepat, yaitu ketika fase akut diberi penanganan RICE, ketika berkurang peradangan dapat diberikan dengan masase dengan pengembalian posisi tulang pada posisi semula dan terapi latihan untuk pengembalian fleksibilitas, kekuatan serta daya tahan otot yang mengalami cedera. Jadi vitamin E dapat diberikan bersamaan dengan terapi latihan dengan tujuan menyempurnakan perbaikan sel-sel otot, saraf serta radikal bebas akibat aktivitas olahraga yang berlebih.

 BAB III PENUTUP

 A. Kesimpulan
Pemberian vitamin E dapat diterapkan pasca cedera ketika cedera telah diberi penanganan secara cepat dan tepat, yaitu ketika fase akut diberi penanganan RICE, ketika berkurang peradangan (inflamasi) dapat diberikan dengan masase dengan pengembalian posisi tulang pada posisi semula dan terapi latihan untuk pengembalian fleksibilitas, kekuatan serta daya tahan otot yang mengalami cedera. Jadi vitamin E dapat diberikan bersamaan dengan terapi latihan dengan tujuan menyempurnakan perbaikan sel-sel otot, saraf serta radikal bebas akibat aktivitas olahraga yang berlebih.

B. Saran
Bagi masyarakat agar melakukan menkonsumsi makanan yang mengandung vitamin E sebagai upaya pemulihan dari kerusakan sel-sel otot, saraf serta radikal bebas yang timbul karena aktivitas olahraga yang berlebih.


 DAFTAR PUSTAKA
 Ali Satia Graha. (2009). Pedoman dan Modul Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Terapi Masase dan Cedera Olahraga pada Lutut dan Engkel. Yogyakarta: Klinik Terapi Fisik UNY. 
Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi. (2009). Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Cedera pada Anggota Tubuh Bagian Atas. Yogyakarta: FIK UNY. 
Arif Setiawan. (2011). Faktor timbulnya cedera olahraga. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia., Volume 1., Edisi 1. Semarang: UNNES. 
Bambang Priyonoadi. (1995). Modalitas Terapi Fisik untuk Pananggulangan Nyeri. Yogyakarta: FPOK IKIP Yogyakarta. Faizati Karim. (2002). Panduan Kesehatan Olahraga bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Depkes. 
Margono. (2006). Upaya pencegahan pulled muscle pada sprinter. Jurnal. Yogyakarta: FIK UNY. 
Novita Intan Arovah. (2010). Diagnosis dan manajemen cedera olahraga. Yogyakarta: FIK UNY. 
Susan J. Garison. (2001). Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta: Hipokrates. 
Susanto, (2006). Vitamin E panjang umur dan pencegah penyakit. Purwokerto.

Sunday, 13 May 2012

PENANGANAN PERTAMA PADA CEDERA RINGAN


PENANGANAN PERTAMA PADA CEDERA RINGAN AKIBAT AKTIVITAS FISIK

Oleh:
Wawan Agung Raharja, S.Or.


ABSTRAK

Dunia modern saat ini masih sering terjadi salah penafsiran oleh masyarakat pada umumnya tentang penanganan pertama pada cedera ringan yang ditimbulkan akibat aktivitas fisik sehari-hari, baik olahraga maupun non olahraga. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana melakukan aktivitas atau gerak dengan baik serta bagaimana penanganan pertama ketika mengalami cedera pada tubuh yang merupakan risiko saat melakukan aktivitas tersebut. Cedera yang terjadi pada tubuh secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam berdasarkan tingkatan, yaitu cedera ringan, sedang, dan berat. Cedera ringan merupakan salah satu bentuk cedera yang sering terjadi pada tubuh manusia, misal kekakuan otot, sprain dan strain tingkat satu maupun pergeseran posisi tulang pada sendi tubuh (subluksasi). Selain itu cedera yang dialami pada tubuh akan menimbulkan gejala peradangan (inflamasi) yang dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda peradangan, yaitu bengkak, merah, panas, nyeri, dan penurunan fungsi gerak anggota gerak tubuh. Di dunia medis maupun di lingkungan perguruan tinggi khususnya fakultas keolahragaan, telah dikenal metode RICE (Rest, Ice, Compression dan Elevation) sebagai upaya penanganan pertama pada cedera yang menimbulkan gejala peradangan pada tubuh. Penanganan tersebut bertujuan untuk meminimalisir peradangan yang terjadi maupun mengurangi risiko yang lebih besar sebelum dilakukan penanganan selanjutnya (medis) apabila cedera tersebut termasuk cedera sedang maupun berat. Namun semakin berkembangnya pengetahuan yang ada khususnya di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, telah berkembang salah satu metode traksi dan reposisi sendi yang merupakan bagian dari metode masase cedera olahraga yang berfungsi untuk mengembalikan posisi tulang pada sendi yang mengalami pergeseran (subluksasi).

Kata Kunci: Cedera Ringan, RICE, Traksi dan Reposisi


PENDAHULUAN
Pada zaman modern saat ini banyak berkembang berbagai macam pengobatan terhadap cedera pada tubuh, baik secara medis maupun non medis. Kemajuan dan perkembangan yang terjadi merupakan salah satu bentuk upaya untuk menjaga kesehatan tubuh dan memulihkan kembali cedera yang terjadi pada tubuh. Cedera akan menimbulkan berbagai macam keluhan pada tubuh apabila tidak diberi penanganan secara cepat dan tepat, seperti rasa tegang pada otot apabila tubuh tetap digunakan. Selain itu cedera yang diakibatkan oleh aktivitas fisik seperti berolahraga akan menimbulkan tanda akut, yaitu tanda respon peradangan pada tubuh berupa pembengkakan, peningkatan suhu, rasa nyeri, warna merah dan penurunan fungsi pada anggota gerak tubuh (Novita Intan Arovah, 2010: 3). Tanda-tanda peradangan pada cedera tubuh tersebut akan berdampak negatif apabila pada saat penanganan pertama pasca terkena cedera tidak dilakukan cepat dan tepat.
Pada umumnya, prinsip penanganan cedera akut pada tubuh dilakukan untuk mengurangi kerusakan lanjutan serta mengurangi keluhan yang terjadi akibat respon peradangan tubuh. Namun yang terjadi di lapangan, di ruang lingkup pendidikan maupun di masyarakat umum masih banyak terjadi salah persepsi dan kurangnya pengetahuan tentang penanganan pertama cedera akut pada tubuh. Banyak masyarakat maupun olahragawan yang tidak melakukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat, bahkan ada beberapa yang melakukan penanganan yang salah terhadap timbulnya peradangan akibat dari cedera yang terjadi.
Dari hasil pengamatan penulis tentang penanganan pertama yang dilakukan masyarakat yaitu pasien Physical Therapy Clinic Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, baik pasien olahragawan maupun non olahragawan antara lain sebagai berikut: (1) Banyak pasien tidak melakukan tindakan penanganan pertama pada cedera yang dialami akibat aktivitas fisik, baik olahraga maupun non olahraga, (2) Banyak pasien melakukan penanganan pertama pada cedera dengan metode penanganan yang salah, seperti memberi efek panas pada anggota tubuh yang mengalami peradangan, (3) Banyak pasien khususnya olahragawan tidak melakukan istirahat saat mengalami cedera yang menimbulkan peradangan sehingga memperparah keadaan cedera pada tubuh.

KAJIAN TEORI
Menurut Cava (1995: 145) yang dikutip oleh Antony Eko Raharjo (2008: 32), bahwa cedera merupakan rusaknya jaringan lunak atau keras disebabkan adanya kesalahan teknis, benturan atau aktivitas fisik yang melebihi batas beban latihan yang dapat menimbulkan rasa sakit akibat dari kelebihan latihan melalui pembebanan latihan yang terlalu berat sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan anatomis. Cedera pada tubuh dapat terjadi karena disebabkan dari faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik (Susan J. Garisson, 1995: 320). Faktor instrinsik dapat berupa antara lain kurangnya pemanasan, beban lebih, kondisi fisik yang kurang baik maupun kesalahan gerak tubuh, sedangkan faktor ekstrinsik di antaranya adalah alat-alat olahraga yang kurang baik, kondisi lapangan serta cuaca saat melakukan aktivitas fisik.
Di dunia olahraga cedera dapat terjadi berasal dari faktor ekstrinsik seperti kontak keras dengan lawan pada olahraga body contact yang disebabkan karena benturan dengan alat-alat olahraga antara lain stick hockey, bola , dan raket. Selain itu juga dapat disebabkan oleh keadaan lapangan tidak rata yang meningkatkan potensi olahragawan untuk jatuh, terkilir, atau bahkan patah tulang. Penyebab timbul cedera dari faktor instrinsik biasanya terjadi karena koordinasi otot dan sendi yang kurang sempurna, ukuran tungkai yang tidak sama panjang, ketidak seimbangan otot antagonis. Cedera merupakan masalah yang sering terjadi pada dunia olahraga maupun dalam aktivitas sehari-hari dan kejadiannya sulit dhindari. Cedera dapat dikatakan bahwa adanya kesalahan teknis, benturan, maupun aktivitas fisik yang melebihi batas kemampuan tubuh yang dapat menimbulkan rasa sakit sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan anatomis. Ali Satia Graha (2009: 12) menyatakan bahwa cedera secara praktis berdasarkan berat ringannya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, cedera ringan, cedera sedang dan cedera berat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Cedera Tingkat I (Cedera Ringan)
Cedera tingkat I adalah cedera yang diikuti kerusakan yang tidak berarti pada jaringan tubuh, di antaranya kekakuan dari otot, sprain tingkat I, strain tingkat I dan kelelahan.
Biasanya sebagai usaha untuk mempercepat pemulihan kelelahan ini dapat dilakukan menggunakan sport massage untuk merilekskan otot dan melancarkan peredaran darah, sehingga asam laktat yang menyebabkan kelelahan dengan cepat dapat hilang.
2.  Cedera Tingkat II (Cedera Sedang)
Cedera tingkat II ialah tingkatan kerusakan jaringan lebih nyata, dan dapat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari maupun olahraga. Keluhan yang dapat dirasakan yaitu berupa rasa nyeri, bengkak, gangguan fungsi tanda-tanda inflamasi, misalkan strain otot tingkat II dan sprain tingkat II.
Penanganan pada cedera sedang harus cepat dan tepat untuk mengurangi risiko cedera yang semakin parah dan mempercepat proses penyembuhan.
3.  Cedera Tingkat III (Cedera Berat)
Cedera tingkat III merupakan cedera yang sangat serius dengan ditandai adanya kerusakan jaringan pada tubuh, misalkan robek otot dan ligament maupun fraktur atau patah tulang.
Penanganan pertama pasca cedera ini hanya sebatas pembalutan, penghentian pendarahan maupun pembidaian, selanjutnya cepatlah dibawa ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya.
Selain berdasarkan berat ringannya cedera, para ahli juga dapat mengelompokkan cedera menjadi dua berdasarkan penyebab terjadinya, yaitu trauma acute dan overuse (Margono, 2006: 60). Menurut Ali Satia Graha (2009: 45) menyatakan bahwa trauma acute adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan ligament, otot, tendo atau terkilir, dan bahkan patah tulang, sedangkan overuse injury adalah terjadi akibat proses akumulasi dari cedera berulang-ulang dan baru dirasakan atau diketahui setelah bertahun-tahun melakukan aktivitas olahraga (Arif Setiawan, 2011: 95).
Dari berbagai macam cedera di atas, maka dapat diketahui bahwa cedera dapat merusak jaringan tubuh, menurunkan fungsi anggota gerak tubuh sehingga diperlukan penanganan secara cepat dan tepat. Oleh sebab itu untuk mempercepat pemulihan dan semakin memperburuk keadaan diperlukan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga aktivitas sehari-hari maupun berolahraga akan cepat dilaksanakan kembali dengan keadaan yang normal. Adapun tanda-tanda inflamasi yang dapat dilihat dari timbulnya cedera yaitu kalor, tumor, tubor, dolor, functionlaesa (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2009: 43), yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Kalor atau panas karena peningkatan aliran darah yang cedera. Respon tubuh akan mengalirkan darah ke tempat yang mengalami gangguan dengan maksud untuk menyembuhkan, tetapi tubuh juga sering mengalami kesalahan yaitu mengalirkan darah terus menerus sampai gangguan itu sembuh. Padahal dengan mengalirkan sedikit saja sudah menyembuhkan, tetapi tubuh over dosis dalam memberikan penyembuhan. Oleh karena itu diperlukan penanganan untuk pencegahan.
  2. Tumor atau bengkak disebabkan adanya penumbukan cairan pada daerah sekitar jaringan yang cedera. Hal ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi protein di darah (seperti fibrinogen dan gama globulin) yang kemudian menyerap cairan dari sel sekitarnya. Ada kalanya cairan sampai keluar dari pembuluh darah dan menumpuk di jaringan.
  3. Rubor atau merah pada bagian cedera karena adanya pendarahan. Pendarahan ini berupa pecahnya kapiler-kapiler pembuluh darah yang diakibatkan benturan yang sangat keras.
  4. Dolor atau rasa nyeri, karena terjadi penekanan pada syaraf akibat penekanan baik otot maupun tulang. Secara klasik perjalanan nyeri ini mulai dari perifer ke pusat dan bila diteliti lebih dalam, maka perjalanan rasa nyeri ini dapat dibagi menjadi dua tahap (Bambang Priyonoadi, 1995: 8), yaitu:
Sistem Nosiseptif (Nociceptive System) yaitu perjalanan impuls rasa nyeri mulai ditangkap oleh reseptor di periferi, kemudian diteruskan melewati serabut syaraf aferen untuk masuk ke dalam modulla spinalis dan dilanjutkan melalui traktus spinotalamikus lateralis dibawa ke batang otak dan akhirnya masuk ke thalamus. Apabila impuls sudah masuk ke thalamus, maka dikatakan bahwa rasa nyeri (umpleasant sensory) bisa mulai dirasakan, tetapi deskripsinya secara terperinci belum jelas. Sedangkat tahap kedua yaitu perjalanan impuls nyeri dari batang otot ke korteks serebri dan korteks asosiasi. Bila impuls sudah sampai disini maka berat ringannya, sifat, dan lokalisasi nyeri dapat dideskrisipkan dengan jelas dan terperinci oleh yang bersangkutan.

e. Functionleissa atau tidak bisa digunakan lagi, karena kerusakannya sudah cedera berat dan pembengkakan pada sendi akan membatasi pergerakan sendi (ROM), serta adanya rasa nyeri yang menyebabkan orang tidak ingin bergerak.
Dari berbagai macam tanda peradangan yang ditimbulkan karena cedera di atas, maka sebagai usaha untuk meminimalisir risiko cedera yang lebih parah dapat dilakukan penanganan dengan traksi dan reposisi selama cedera yang dialami belum menimbulkan peradangan.
Jika melihat dari penjelasan di atas, maka cedera dapat berdampak pada otot, tendon, ligamen dan tulang. Menurut Bambang Priyonoadi (2006: 8) ada dua jenis cedera pada otot atau tendo dan ligamen, yaitu sprain dan strain. Sprain adalah cedera pada ligamentum, yaitu cedera pada sendi dengan terjadinya peregangan dan robekan pada ligamentum, hal ini terjadi karena stres berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.
Berdasarkan berat ringannya cedera menurut Bambang Priyonoadi (2006: 8) dan Teh (1992: 195),  membagi sprain menjadi tiga tingkatan, yaitu sprain tingkat I, II dan III yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)    Sprain Tingkat I
Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkakan dan rasa sakit pada daerah tersebut.
2)    Sprain Tingkat II
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi (cairan yang keluar) dan biasanya tidak dapat menggerakkan persendian tersebut.
3)  Sprain Tingkat III
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian, pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa dan terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.

Menurut Giam dan Teh (1992: 93) strain adalah kerusakan pada suatu bagian otot atau tendo karena penggunaan yang berlebihan ataupun stres yang berlebihan. Adapun macam strain menurut Sadoso (1995: 15) berdasarkan berat ringannya yaitu starin tingkat I, II dan III yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)     Strain Tingkat I
Pada strain tingkat I, terjadi regangan yang hebat, tetapi belum sampai terjadi robekan pada jaringan muscula tendineus.
2)     Strain Tingkat II
Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada unit musculo tendineus. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit sehingga kekuatan berkurang.
3)     Strain Tingkat III
Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit musculo tendineus. Biasanya hal ini membutuhkan tindakan pembedahan.

Prinsip pencegahan dan perawatan cedera olahraga yang dapat dilakukan oleh pelatih atau tim medis menurut Herdianto Wibowo (1995: 28) adalah (1) Atlet tidak boleh melanjutkan pertandingan, (2) Pertolongan pertama dilakukan dengan traksi dan reposisi secepat mungkin dalam waktu kurang lebih 15 menit, karena pada saat itu atlet tidak merasa lebih nyeri dilakukan reposisi, (3) apabila terjadi pendarahan, hentikan terlebih dahulu. Menurut Novita Intan Arovah (2010: 6) menyatakan bahwa prinsip dasar penanganan fisioterapi pada cedera olahraga di antaranya adalah pada tahap awal cedera di mana belum terjadi tahap peradangan dapat dilakukan reposisi apabila terjadi dislokasi dan pada tahap peradangan dilakukan upaya menekan respon peradangan yang berlebihan melalui proses RICE.
Tarikan (traksi) caranya adalah dengan menarik bagian anggota gerak tubuh yang mengalami cedera khususnya pada sendi ke posisi semula (Ali Satia Graha, 2009: 14). Jadi traksi dalam penanganan cedera pada sendi adalah gerakan menarik sendi agar terjadi regangan pada sendi untuk mempersiapkan reposisi. Traksi ini bertujuan untuk meregangkan ligamen, sehingga dalam melakukan reposisi tidak mengalami sakit dan gesekan antar tulang. Di dunia medis traksi didefinisikan sebagai tarikan pada bagian distal anggota badan pasien dengan tujuan tujuan mengembalikan fragmen tulang ke tempat semula (Andre C. Sihombing, 2011: 2). Ada dua macam cara traksi dalam dunia medis, yaitu traksi kulit dan traksi skeletal. Traksi kulit dilakukan apabila daya tarik yang diperlukan kecil, sedangkan traksi skeletal dilakukan apabila daya tarik yang dibutuhkan besar dan untuk jangka waktu yang lama.
Reposisi adalah mengembalikan sendi pada posisi tulang pada sendi dengan cara saat penarikan (traksi) pada bagian anggota gerak tubuh yang mengalami cedera khususnya pada bagian sendi dilakukan pemutaran atau penekanan agar sendi kembali pada posisi semula (Ali Satia Graha, 2009: 14). Jadi dapat diartikan bahwa reposisi adalah mengembalikan posisi sendi pada anotomis. Reposisi dilakukan dengan menyesuaikan bentuk sendi, misalkan pada sendi bahu dan panggul yaitu sendi peluru maka reposisi dilakukan dengan memutar, sedangkan untuk sendi lutut dan siku hanya kekiri dan kekanan. Reposisi dilakukan dengan tujuan memperbaiki range of movement (ROM) yaitu luas cakupan gerak sendi.
Setelah cedera mengalami peradangan maka dapat dilakukan penanganan dengan metode RICE (rest, ice, compression dan elevation). Seperti yang diungkapkan oleh Novita Intan Arovah (2010: 6) bahwa pertolongan pertama bagi penderita cedera dan mengalami peradangan harus diberikan RICE yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Rest yaitu istirahat. Hentikan aktivitas atau istirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera. Menghentikan aktivitas atau mengistirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera harus dilakukan, karena hal ini penting untuk pencegahan perluasan cedera dan percepatan penyembuhan. Bila rest tidak dilakukan dan bagian tubuh yang cedera tetap aktif, maka cedera akan menjadi lebih parah dan kesembuhan menjadi lebih lama.
2.  Ice yaitu es. Artinya dinginkan bagian yang cedera dengan kompres es. Tujuan pemberian es segera setelah terjadi cedera adalah agar jaringan di sekitar cedera, termasuk pembuluh darah kapiler menyempit. Keadaan tersebut sangat diperlukan untuk mengurangi pendarahan dan edema, karena bila darah dan cairan tubuh banyak masuk dan tertimbun dalam jaringan yang rusak akibat cedera, maka waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lebih lama. Selain itu kegunaan dan kompres es adalah untuk mengurangi rasa sakit. Pemberian es dilakukan dengan pemberian es yang dibalut dengan handuk dengan cara menempelkan ke anggota tubuh yang mengalami cedera yang biasanya pada persendian selama 2-5 menit sesuai kemampuan individu setelah itu diangkat dan didiamkan sebentar sampai rasa dingin sedikit hilang, selanjutnya ditempelkan kembali. Pengulangan sampai 20 menit.
3.  Compression yaitu penekanan. Artinya tekan bagian yang cedera. Penekanan dapat saja dilakukan dengan tangan atau jari, namun demikian cara ini anjurkan hanya dalam keadaan terpaksa atau darurat. Jadi sebaiknya penekanan dilakukan dengan pembalut elastis. Tujuan dari penekanan ialah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera. Karena dengan demikian diharapkan pembengkakan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dengan demikian kesembuhan jadi lebih cepat.  Karena seperti diketahui bahwa bila terjadi cedera maka jaringan disekitarnya menjadi rusak, mungkin pecah, putus, atau robek. Keadaan demikian memungkinkan darah dan cairan jaringan masuk dan tertimbun di dalam bagian yang cedera makin banyak. Kalau keadaan ini terjadi maka jaringan di sekitar yang cedera menjadi teregang dan waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lama. Memang dalam kondisi tertentu pembengkakan diperlukan, karena ia membawa anti bodi untuk membunuh bibit penyakit, tetapi bila tidak terjadi luka terbuka maka antibodi tidak diperlukan.
4.   Elevation yaitu peninggian. Artinya selama perawatan bagian tubuh yang cedera diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari jantung. Tujuannya yang pertama adalah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera. Kemudian yang kedua agar pengangkutan cairan yang tertimbun dari sel-sel yang sudah rusak dapat diangkut dengan cepat dari dalam jaringan yang cedera.

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa penanganan RICE hanya boleh dilakukan pada cedera akut dan harus tepat karena pemberian RICE yang salah akan memperparah cedera yang dialami, misalkan pemberian es yang terlalu lama akan memberikan efek panas pada lokasi cedera sehingga tidak mengurangi peradangan melainkan vasodilatasi meningkat dan proses penyembuhan cedera menjadi lebih lama.


KESIMPULAN
Pada umumnya penanganan pertama pada cedera ringan (akut) anggota tubuh, baik yang disebabkan karena olahraga maupun non olahraga harus diberi penanganan RICE jika sudah timbul gejala peradangan. Tujuan dari proses RICE adalah mengurangi efek negatif bagi tubuh dari gejala peradangan yang timbul, yaitu kalor, rubor, tumor, dolor dan funtcion leissa. Akan tetapi ketika seseorang terkena cedera pada bagian sendi dapat memanfaatkan waktu sebelum cedera tersebut menimbulkan peradangan atau lebih dikenal dengan golden time, maka penanganan yang harus dilakukan adalah traksi dan reposisi dengan tujuan mengembalikan posisi tulang sendi pada tempatnya sehingga tidak menimbulkan penurunan fungsi yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Satia Graha. (2009). Pedoman dan Modul Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Terapi Masase dan Cedera Olahraga pada Lutut dan Engkel. Yogyakarta: Klinik Terapi Fisik UNY.

Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi. (2009). Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan Cedera pada Anggota Tubuh Bagian Atas. Yogyakarta: FIK UNY.

Andre C. Sihombing. (2011). Traksi dalam Ortopedi. Powerpoint. http://images.orthoped.multiply.multiplycontent.com tanggal 7 mei 2012 pukul 20.30 wib.

Antony Eko Raharjo. (2008). Usaha Pencegahan Cedera Pehoki Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FIK UNY.

Arif Setiawan. (2011). Faktor Timbulnya Cedera Olahraga. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia., Volume 1., Edisi 1. Semarang: UNNES.

Bambang Priyonoadi. (1995). Modalitas Terapi Fisik untuk Penanggulangan Nyeri. Yogyakarta: FPOK IKIP Yogyakarta.

C.K.Gian and K.C.Teh. (1992). Ilmu Kedokteran Olahraga. Hartono Satmoko. Terjemahan. Jakarta: Penerbit: FIK UNY.

Herdianto Wibowo. (1995). Pencegahan dan Penatalaksanaan Cedera Olahraga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Margono. (2006). Medikora, Upaya Pencegahan Pulled Muscle pada Sprinter. Yogyakarta: FIK UNY.

Novita Intan Arovah. (2010). Dasar-dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga. Yogyakarta: FIK UNY.

Sadoso Sumosardjuno. (1995). Cedera Olahraga Di Arena. Jakarta: Pusat Ilmu Keolahragaan. Koni Pusat.

Susan J. Garison. (2001). Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta: Hipokrates.


Thursday, 10 May 2012

OLAHRAGA BAGI PENDERITA DM

PETUNJUK DAN PEDOMAN OLAHRAGA BAGI PENDERITA DIABETES MILITUS 
 A. Manfaat dan Pentingnya Olahraga 

1. Melepaskan diri dari ketergantungan obat pada penderita.
2. Meningkatkan sirkulasi darah terutama pada kaki dan tangan, di mana biasanya penderita diabetes memiliki masalah. 
3. Membakar kalori dan mengurangi lemak tubuh sehingga meningkatkan kemampuan metabolisme sel dalam menyerap dan menyimpan glukosa. 
4. Memperbaiki aliran darah perifer dan menambah suplai oksigen.  
5. Meningkatkan kepekaan insulin. 

B. Sarana yang digunakan 

1. Tempat olahraga yang aman dan nyaman (repesentatif). 
2. Pakaian olahraga, meliputi: pakaian yang digunakan saat beraktivitas, handuk, sepatu yang aman dan nyaman bagi si penderita. 
3. Air minum (air putih dan air manis/jus). C. Prinsip dalam berolahraga : 1. Frekuensi latihan dilakukan secara teratur. 2. Intensitas : ringan dan sedang yaitu 60 – 70 % MHR (Maximum Heart Rate). Rumusnya : 60%-70% x (220 – umur). 
4. Durasi dalam berolahraga adalah selama 30 hingga 60 menit. 
5. Jenis olahraga yang dilakukan hendaklah tidak terlalu berat, seperti jalan, jogging, berenang, bersepeda dan senam aerobik. Konsultasikan dengan dokter sebelum menjalani program olahraga agar jenis olahraga yang anda lakukan sesuai dengan kondisi anda. 
Dokter akan melarang jika: · Glukosa darah Anda lebih dari 250 mg/dl. · Anda memiliki gejala retinopati (kerusakan pembuluh darah pada mata), neuropati (kerusakan syaraf dan sirkulasi darah pada anggota badan), nefropati (kerusakan ginjal) dan gangguan jantung seperti jantung koroner, infark miokard, arritmia dan lainnya. 
6. Bila tidak ada larangan, mulailah dengan olahraga ringan seperti senam aerobik, berjalan, berenang, dan bersepeda. Bagi anda yang tidak pernah berolahraga, awali dengan 10 - 20 menit setiap kali latihan beberapa kali seminggu. 
7. Jangan mengangkat beban berat karena dapat meningkatkan tekanan darah secara tiba-tiba dan jangan menambah porsi latihan secara drastis. Setiap kali, naikkan hanya satu faktor saja (frekuensi atau intensitas latihan). 

D. Urutan kegiatan yang dilakukan : 
Pemanasan (Warm – up), lamanya 5 – 10 menit, bertujuan untuk menaikkan suhu tubuh, denyut nadi mendekati intensitas latihan dan mengurangi kemungkinan cedera. 
Latihan inti (Conditioning), lamanya 20 menit, diusahakan denyut nadi mencapai THR (Target Heart Rate). 
Pendinginan (Cooling down), lamanya 5 – 10 menit, bertujuan untuk mencegah penimbunan asam laktat di otot sehingga menimbulkan nyeri di otot, atau pusing sebab darah masih terkumpul di otot yang aktif. Peregangan (stretching) dapat dilakukan saat pemanasan dan pendinginan, bertujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang. 

E. Keamanan dan Risiko dari Olahraga 
Penderita diabetes yang telah lama dikhawatirkan bisa mengalami arterosklerosis (penyempitan pembuluh darah). Namun dengan berolahraga timbunan kolesterol di pembuluh darah akan berkurang, sehingga risiko terkena penyakit jantung juga menurun. 
1. Konsultasi dokter dalam pemilihan waktu untuk olahraga. Berfungsi untuk mencegah terjadinya hipoglikemia (kekurangan gula darah), khususnya pada penderita diabetes yang mengkonsumsi obat atau suntikan insulin. Gejala hipoglikemia adalah badan gemetar, jantung berdebar, keringat bertambah, rasa lapar, pusing, lesu, bingung, dan perubahan mood yang cepat. Bila terkena gejala hipoglikemi: 
a. Lakukan tes gula darah untuk mengecek. 
b. Konsumsi makanan atau minuman manis, misalnya jus atau manisan buah. Hindari makanan mengandung lemak karena menghalangi penyerapan glukosa oleh tubuh. 
c. Istirahat selama 10 -15 menit dan lakukan pengecekan lagi sebelum melanjutkan latihan. Jangan meneruskan berolahraga bila gula darah di bawah 100 mg/dl. 
d. Bila melanjutkan berolahraga, selalu waspada terhadap munculnya kembali gejala hipoglikemia. 
e. Setelah selesai berolahraga, makanlah makanan yang mengandung karbohidrat kompleks seperti ubi, roti, dan jagung.Lakukan pengetesan glukosa darah 12 jam setelah latihan, untuk mengecek adanya hipoglikemia yang muncul setelah latihan (late onset). Bagi penderita diabetes yang sudah sangat parah, misalnya saraf kakinya sudah terganggu, dipilih olahraga yang ringan, simpel serta tidak keras benturannya. Misalnya bersepeda. Itu pun harus hati-hati, terutama kalau sudah sampai terjadi retinopati diabetik (gangguan retina mata), karena kemungkinan terjadinya perdarahan sangat besar. 
Bagi penderita diabetes yang lebih parah misalnya dengan kadar gula di atas 400 mg/dl yang tak memungkinkannya bergerak aktif, penanganannya lebih diserahkan pada dokter penyakit dalam. Bagi penderita yang memiliki masalah di kaki haruslah menjaga kebersihan dan kesehatan kaki untuk mengurangi risiko gesekan yang dapat menimbulkan lecet (luka). Gunakan sepatu yang benar-benar nyaman dan aman. Hal ini dilakukan agar faktor kenyamanan dan keamanan terpenuhi karena penyembuhan dari luka penderita diabetes membutuhkan waktu lama dan kadang sukar untuk disembuhkan. Dengan rajin berolahraga ditambah mengatur menu makanan serta mengontrol kadar gula darah secara teratur, komplikasi akibat diabetes dapat dihindari. 

Referensi: 

Askandar Tjokroprawiro. 2000. Diabetes Militus klasifikasi, diagnosis dan terapi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 
www.google/Republika.co.id 
www.google/persadia.com

Wednesday, 9 May 2012

OLAHRAGA REHABILITASI


Abstrak
Olahraga pada era modern saat ini memegang peran penting dalam memelihara gerak maupun meningkatkan kualitas gerak pada manusia. Olahraga dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja sesuai perkembangan yang ada dan semakin canggihnya peralatan yang ada. Olahraga dapat dilakukan sesuai tujuan yang dilakukan, misal olahraga untuk rehabilitasi. Program latihan pada olahraga rehabilitasi pada dasarnya tidak berbeda dengan olahraga kuratif. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah memulai dengan takaran sangat rendah karena dilakukan segera setelah penderita membaik dari cedera yang dialami.
Cedera merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh olahragawan, baik saat melakukan latihan maupun bertanding. Cedera dapat timbul dikarenakan berbagai faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor cedera yang timbul dari diri olahragawan, di antaranya kondisi fisik, biomekanika gerak yang salah, kurangnya pemanasan. Sedangkan faktor ekstrinsik yaitu cedera yang timbul akibat dari luar diri, di antaranya kondisi tempat latihan, alat yang digunakan dan cuaca maupun suhu saat melakukan olahraga.

Kata Kunci: Olahraga Rehabilitasi, Cedera

A.      Pendahuluan
Perkembangan dunia medis baik di Indonesia maupun dunia internasional, dalam penanganan keluhan penyakit maupun keluhan nyeri sangat cepat dalam penanganan dan pertolongan untuk menjadi sehat ataupun pulih kembali. Tetapi di dunia kedokteran timur (Cina) ataupun pengobatan alternatif dari benua Eropa, India, Amerika dan Jepang di era modern sekarang ini lebih banyak diminati karena  banyak penderita  yang mengalami sakit atau keluhan nyeri bisa menghindari obat-obatan yang mengandung kimiawi. Pengobatan timur atau pengobatan alternatif dari negara lain sangat banyak macam ragamnya seperti: terapi masase, terapi herbal, hydrotherapy, thermotherapy, coldtherapy, excersise therapy, terapi oksigen, terapi yoga, terapi pernapasan dan lain-lain (Ali Satia Graha, 2009: 2).
Cedera merupakan masalah yang sulit dihindari oleh olahragawan, baik di dalam kompetisi maupun di saat latihan. Cedera yang timbul ini sering kali diabaikan oleh penderita dikarenakan kurangnya pengetahuan bagaimana penanganan yang tepat dan cepat salah mengalami cedera. Selain itu setelah mengalami cedera banyak olahragawan tidak melakukan rehabilitasi untuk memulihkan cedera yang dialami, sehingga cedera yang dialami dapat menghambat dan menurunkan fungsi dari otot, syaraf maupun sendi yang mengalami cedera.
Latihan fisik dengan segala metodenya dapat membantu mengatasi dan  memperbaiki fungsi saraf dan otot serta memperlancar aliran darah, sehingga sangat bermanfaat bagi penderita pasca cedera. Penggunaan latihan fisik ini adalah meningkatnya kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari terutama dalam menolong dirinya sendiri untuk mandiri.

B.       Olahraga Rehabilitasi
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak (mempertahankan hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (meningkatkan kualitas hidup). Seperti halnya makan, olahraga merupakan kebutuhan hidup yang sifatnya periodik, artinya olahraga sebagai alat untuk memelihara dan membina kesehatan, tidak dapat ditinggalkan. Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis-anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul pada siswa yang aktif mengikuti kegiatan pendidikan jasmani olahraga dibanding siswa yang tidak aktif mengikuti pendidikan jasmani olahraga tersebut.
Menurut Cholik Mutohir (2009: 1), olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan pancasila(http://djuneardy.blogdetik.com/index.php/2009/12/10/definisiolahraga/ didownload pada tanggal 1-10-2011).
Selain itu menurut Faizati Karim (2002: 5), olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Olahraga juga merupakan bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik, arah dan tujuan orang berolahraga termasuk waktu dan lokasi kegiatan dilaksanakan sedimikian beragam sehingga sebagai bukti bahwa olahraga merupakan fenomena yang relevan dengan kehidupan sosial dan juga ekspresi budaya berkarya pada manusia (KDI-Keolahragaan, 2000: 7).
Adapun macam olahraga menurut Faizati Karim (2002; 8) yaitu, olahraga aerobik dan anaerobik. Olahraga aerobik adalah olahraga yang dilakukan secara terus-menerus dimana kebutuhan oksigen masih dapat dipenuhi tubuh, misalnya, jogging, senam, renang dan bersepeda. Sedangkan olahraga anaerobik adalah olahraga dimana kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh tubuh. Misalnya, angkat besi, lari sprint 100 m, tenis lapangan, bulu tangkis dan lain-lain.
Jika melihat dari tujuannya, olahraga menurut KDI-Keolahragaan (2002: 10-11) dapat diklasifikasikan menjadi olahraga pendidikan, olahraga kesehatan, olahraga rekreatif, olahraga rehabilitatif dan olahraga kompetitif yang diuraikan sebagai berikut: (1) Olahraga pendidikan adalah proses pembinaan yang menekankan penguasaan ketrampilan dan ketangkasan berolahraga. Nilai-nilai kependidikan melalui pembekalan pengalaman yang lengkap sehingga yang terjadi adalah proses sosialisasi melalui dan ke dalam olahraga. (2) Olahraga kesehatan adalah jenis kegiatan olahraga yang lebih menitik beratkan pada upaya mencapai tujuan kesehatan dan fitness yang tercakup dalam konsep well-being melalui kegiatan berolahraga. (3) Olahraga rekreatif adalah jenis kegiatan olahraga yang menekankan pencapaian tujuan yang bersifat rekreatif atau manfaat dari aspek jasmaniah dan sosial-psikologis. (4) Olahraga rehabilitatif adalah jenis kegiatan olahraga atau latihan jasmani yang menekankan pada tujuan yang bersifat terapi atau aspek psikis dan perilaku. (5) Olahraga kompetitif adalah jenis kegiatan olahraga yang menitik beratkan pada peragaan perfoma dan pencapaian prestasi maksimal yang lazimnya dikelola oleh organisasi olahraga formal, baik nasional maupun internasional.
Melihat uraian dari macam olahraga di atas, maka dapat diketahui bahwa setiap orang yang melakukan olahraga mempunyai tujuan dan maksud tertentu dalam upaya meningkatkan kualitas gerak yang berdampak pada meningkatnya kesehatan baik secara fisik maupun mental. Selain itu menurut Faizati Karim (2002: 8-9) olahraga juga mempunyai manfaat diantaranya:
1.    Meningkatkan kerja dan fungsi jantung, paru dan pembuluh darah yang ditandai dengan:
a.    Denyut nadi istirahat menurun.
b.    Isi sekuncup bertambah.
c.    Kapasitas bertambah.
d.   Penumpukan asam laktat berkurang.
e.    Meningkatkan pembuluh darah kolateral.
f.     Meningkatkan HDL Kolesterol.
g.    Mengurangi aterosklerosis.
2.    Meningkatkan kekuatan otot dan kepadatan tulang yang ditandai pada:
a.    Pada anak: mengoptimalkan pertumbuhan.
b.    Pada orang dewasa: memperkuat masa tulang dan menurunkan nyeri sendi kronis.
3.    Meningkatkan kelenturan (fleksibilitas) pada tubuh sehingga dapat mengurangi cedera.
4.    Meningkatkan metabolisme tubuh untuk mencegah kegemukan dan mempertahankan berat badan ideal.
5.    Mengurangi resiko terjadinya berbagai penyakit seperti:
a.    Tekanan darah tinggi: mengurangi tekanan sistolik dan diastolik.
b.    Penyakit jantung koroner: menambah HDL-kolesterol dan mengurangi lemak tubuh.
c.    Kencing manis: menambah sensitifitas insulin.
d.   Infeksi: meningkatkan sistem imunitas.
6.    Meningkatkan sistem hormonal melalui peningkatan sensitifitas hormon terhadap jaringan tubuh.
7.    Meningkatkan aktivitas sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit melalui peningkatan pengaturan kekebalan tubuh.
8.    Hasil penelitian Kavanagh, latihan aerobik 3 kali seminggu selama 12 minggu:
a.    Meningkatkan pembuluh darah kolateral.
b.    Meningkatkan HDL kolesterol.
Menurut Houglum (2005:13-15), prinsip rehabilitasi harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar seperti misalnya: tidak memperburuk keadaan, dilakukan sesegera mungkin, Semakin cepat pasien memulai porsi latihan, semakin cepat dapat kembali ke aktivitas sepenuhnya. Setelah cedera, istirahat memang diperlukan, namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak istirahat akan memperlambat pemulihan. Dikatakan bahwa imobilisasi seminggu pertama setelah cedera, 3%-4% kekuatan otot berkurang setiap harinya. Beberapa studi menemukan bahwa laju pemulihan jauh lebih lambat daripada laju kehilangan kekuatan otot. Penemuan tersebut mengindikasikan pentingnya memulai program terapi latihan sesegera mungkin setelah kondisi memungkinkan. Kepatuhan dan individualisasi juga merupakan prinsip rehabilitasi cedera. Perbedaan psikologis dan kimiawi mempengaruhi respon spesifik terhadap cedera.
Program rehabilitasi cedera dimulai dengan latihan fleksibilitas dan range of motion (ROM), latihan kekuatan dan daya tahan otot, serta latihan proprioseptif, koordinasi, dan kelincahan. Lebih dari itu harus juga diperhatikan dan dipertahankan kebugaran kardiovaskuler seperti sebelum cedera. Menurut Viljoen (2000: 54), rehabilitasi cedera meliputi pencegahan cedera, penilaian cedera, dan manajemen cedera. Pencapaian fleksibilitas lebih awal dalam terapi latihan diperlukan karena parameter lain ditentukan oleh fleksibilitas daerah cedera dan efek dari proses penyembuhan. Jaringan yang sembuh dari cedera meninggalkan jaringan penyembuhan yang dapat menyebabkan kontraktur. Selama masa penyembuhan, ada kesempatan emas untuk mengubah jaringan sikatrik tersebut. Kekuatan dan daya tahan otot saling mempengaruhi. Saat kekuatan otot meningkat, daya tahan juga meningkat dan sebaliknya.
Melihat dari berbagai macam penjelasan di atas, maka olahraga rehabilitasi dapat diberikan setelah proses peradangan berkurang, yaitu kurang lebih satu minggu setelah mengalami cedera. Setelah itu, latihan pertama yang dilakukan adalah dimulai dari hal sederhana yang bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas otot dan luas gerak sendi tubuh yaitu dengan melakukan peregangan dengan menggunakan beban tubuh selama 1, 5 bulan. Setelah mengalami peningkatan, maka peregangan tersebut ditambahi dengan beban alat. Misal menggunakan thera band untuk melatih fleksibilitas sendi dan meningkatkan kekuatan otot selama 1, 5 bulan. Setelah 3 bulan maka dapat diberikan latihan pembebanan untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot.

C.      Cedera
Cedera merupakan rusaknya jaringan lunak atau keras disebabkan adanya kesalahan teknis, benturan atau aktifitas fisik yang melebihi batas beban latihan yang dapat menimbulkan rasa sakit akibat dari kelebihan latihan melalui pembebanan latihan yang terlalu berat sehingga otot dan tulang tidak lagi dalam keadaan anatomis. Cedera dapat terjadi pada aktifitas apapun dengan waktu yang relatif singkat baik secara sadar maupun tidak disadari.
Cedera dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrisik. Faktor intrinsic adalah faktor yang unsur-unsurnya sudah ada dalam diri seseorang. Hal ini meliputi kelemahan jaringan, fleksibilitas, kesalahan biomekanika, dan kurangnya pengkondisian. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi perlengkapan yang salah, kekuatan-kekuatan yang dikendalikan dari luar. Seperti perlengkapan yang salah, atlet lain, permukaan lapangan, pelatih dan cuaca (Susan J. Garrison, 2001: 320-321).
Macam-macam cedera yang terjadi dalam aktifitas sehari-hari maupun dalam berolahraga dibagi menjadi 2: yaitu cedera ringan dan cedera berat (Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi, 2009: 77) yang dijabarkan sebagai berikut:
1.    Cedera ringan yaitu cedera yang terjadi karena tidak ada kerusakan yang berarti pada jaringan tubuh, misalnya kekakuan otot dan kelelahan. Cedera ringan tidak memerlukan penanganan khusus, biasanya dapat sembuh sendiri setelah istirahat.
2.    Cedera berat yaitu cedera serius pada jaringan tubuh dan memerlukan penanganan khusus dari medis, misalnya robeknya otot, tendon, ligamen atau patah tulang.
Jika dilihat dari penjelasan di atas, maka cedera olahraga berdampak pada otot, tendon, ligamen dan tulang. Menurut Bambang Priyonoadi (2006), Sadoso (1993) dan Teh (1992), ada dua jenis cedera pada otot atau tendo dan ligamentum, yaitu:
a.    Sprain
Sprain adalah cedera pada ligamentum, cedera ini yang paling sering terjadi pada berbagai cabang olahraga. Sprain adalah cedera pada sendi dengan terjadinya robekan pada ligamentum, hal ini terjadi karena stres berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.
Berdasarkan berat ringannya cedera, menurut Bambang Priyonoadi (2006) dan Teh (1992), membagi sprain menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1)    Sprain Tingkat I
Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkakan dan rasa sakit pada daerah tersebut.
2)      Sprain Tingkat II
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi (cairan yang keluar) dan biasanya tidak dapat menggerakkan persendian tersebut.
3)      Sprain Tingkat III
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian, pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa dan terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.
b.    Strain  
Menurut Giam dan Teh (1992), Strain adalah kerusakan pada suatu bagian otot atau tendo karena penggunaan yang berlebihan ataupun stres yang berlebihan.
Berdasarkan berat ringannya cedera, menurut Sadoso (1993), membedakan strain  menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1)   Strain Tingkat I
Pada strain tingkat I, terjadi regangan yang hebat, tetapi belum sampai terjadi robekan pada jaringan muscula tendineus.
2)   Strain Tingkat II
Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada unit musculo tendineus. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit sehingga kekuatan berkurang.
3)   Strain Tingkat III
Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit musculo tendineus. Biasanya hal ini membutuhkan tindakan pembedahan.
Gejala yang timbul akibat cedera dapat berupa peradangan. Seperti yang diungkapkan Wara Kushartanti (2007: 3), peradangan merupakan mekanisme mobilisasi pertahan tubuh dan reaksi fisiologis dari jaringan rusak baik akibat tekanan mekanis, kimiawi, panas, dingin dan invasi bakteri. Radang mempunyai tujuan memproteksi area yang cedera dan melayani proses penyembuhan. Diperjelas oleh Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi (2009: 43), tanda-tanda peradangan pada cedera jaringan tubuh yaitu:
1.    Kalor atau panas karena meningkatnya aliran darah ke daerah yang mengalami cedera.
2.    Tumor atau bengkak disebabkan adanya penumpukan cairan pada daerah sekitar jaringan yang cedera.
3.         Rubor atau merah pada bagian cedera karena adanya pendarahan.
4.    Dolor atau rasa nyeri, karena terjadi penekanan pada syaraf akibat penekanan baik otot maupun tulang.
5.    Functiolaesa atau tidak bisa digunakan lagi, karena kerusakannya sudah cedera berat.
Dari berbagai macam penjelasan tentang cedera di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cedera yang dialami oleh olahragawan dapat menimbulkan peradangan, yaitu nyeri, bengkak, panas, merah dan penurunan fungsi baik pada otot, syaraf maupun sendi dalam tubuh.

D.    Kesimpulan
Olahraga rehabilitasi cedera dimulai dengan latihan fleksibilitas dan range of motion (ROM), latihan kekuatan dan daya tahan otot, serta latihan proprioseptif, koordinasi, dan kelincahan. Lebih dari itu harus juga diperhatikan dan dipertahankan kebugaran kardiovaskuler seperti sebelum cedera.
Olahraga rehabilitasi diberikan setelah satu minggu pasca cedera, kemudian diberikan program latihan untuk melatih fleksibilitas otot dan gerak sendi dengan stretching. Kemudian melatih untuk meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan otot dengan thera band. Setelah kondisi membaik, maka diberikan latihan pembebanan untuk meningkatkan daya tahan otot setelah mengalami cedera.

E.     Daftar Pustaka
Ali Satia Graha dan Bambang Priyonoadi. 2009. Terapi Masase Frirage Penatalaksanaan cedera pada anggota tubuh bagian atas. Yogyakarta: FIK UNY.

C.K.Giam and K.C.The. (1992). Ilmu Kedokteran Olahraga, diterjemahkan oleh Hartono Satmoko. Jakarta: FIK UNY.

Faizati Karim. (2002). Panduan Kesehatan Olahraga bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Depkes.

Houglum, Peggy. (2005). Therapeutic Exercise for Musculoskeletal Injuries. Second Edition. Human Kinetics.

KDI-Keolahragaan. (2000). Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta pusat: Depdiknas.

Sadoso Sumosardjuno. 1993. Cedera Olahraga Di Arena. Jakarta: Pusat Ilmu Keolahragaan. Koni Pusat.

Susan J. Garison. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta: Hipokrates.

Wara Kushartanti. 2007. Patofisiologi Cedera Olahraga. Modul. Yogyakarta: Klinik Terapi Fisik FIK UNY.
                        . 2008. Terapi Latihan untuk Rehabilitas Cedera bagi Olahragawan. Laporan Penelitian: FIK UNY.

Viljoen, Wayne. 2000. Principles of Rehabilitation. Diploma in Sports Management. Presentation.

.